JAKARTA. Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai Surat kesepakatan bersama (SKB) tentang kepatuhan ketentuan pelaksanaan kampanye melalui media penyiaran sia-sia karena hanya mengulangi yang sudah diatur undang-undang. Yang dibutuhkan bukan penetapan moratorium, melainkan penegakan hukum yang tegas. "Yang dibutuhkan dan diperlukan bukan moratorium tapi penegakan hukum atas mereka yang melanggar. Mereka mengikat objek lain dengan larangan yang memang dasarnya sudah dilarang," ujar Ray di Jakarta, Sabtu (1/3/2014). Menurutnya, isi SKB tersebut sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Dia mengatakan, saat ini sudah banyak iklan politik dan iklan kampanye di media massa karena tidak ada ketegasan penegakan hukum, baik dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) maupun Komisi Pemyiaran Indonesia (KPI). Ray menuturkan, SKB tersebut juga menjadi mubazir karena pihak yang seharusnya diatur oleh SKB ternyata tidak ikut menandatanganinya. "SKB itu juga tidak memberi kejelasan apa yg diikat oleh mereka (pihak yang bersepakat), diri mereka atau objek lainnya," kata dia. Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi Informasi Pusat (KIP) menandatangani SKB tentang kepatuhan ketentuan pelaksanaan kampanye melalui media penyiaran. Selain menetapkan moratorium iklan politik dan kampanye, SKB itu juga mewajibkan lembaga penyiaran dan peserta pemilu menaati batas maksimum iklan kampanye. Dalam SKB, gugus tugas juga melarang lembaga penyiaran pemberitaan, rekam jejak atau program yang mengandung unsur kampanye, iklan kampanye, dan hasil survei atau jajak pendapat tentang elektabilitas peserta pemilu. ((Deytri Robekka Aritonang)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pengamat: SKB moratorium sia-sia
JAKARTA. Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai Surat kesepakatan bersama (SKB) tentang kepatuhan ketentuan pelaksanaan kampanye melalui media penyiaran sia-sia karena hanya mengulangi yang sudah diatur undang-undang. Yang dibutuhkan bukan penetapan moratorium, melainkan penegakan hukum yang tegas. "Yang dibutuhkan dan diperlukan bukan moratorium tapi penegakan hukum atas mereka yang melanggar. Mereka mengikat objek lain dengan larangan yang memang dasarnya sudah dilarang," ujar Ray di Jakarta, Sabtu (1/3/2014). Menurutnya, isi SKB tersebut sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Dia mengatakan, saat ini sudah banyak iklan politik dan iklan kampanye di media massa karena tidak ada ketegasan penegakan hukum, baik dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) maupun Komisi Pemyiaran Indonesia (KPI). Ray menuturkan, SKB tersebut juga menjadi mubazir karena pihak yang seharusnya diatur oleh SKB ternyata tidak ikut menandatanganinya. "SKB itu juga tidak memberi kejelasan apa yg diikat oleh mereka (pihak yang bersepakat), diri mereka atau objek lainnya," kata dia. Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi Informasi Pusat (KIP) menandatangani SKB tentang kepatuhan ketentuan pelaksanaan kampanye melalui media penyiaran. Selain menetapkan moratorium iklan politik dan kampanye, SKB itu juga mewajibkan lembaga penyiaran dan peserta pemilu menaati batas maksimum iklan kampanye. Dalam SKB, gugus tugas juga melarang lembaga penyiaran pemberitaan, rekam jejak atau program yang mengandung unsur kampanye, iklan kampanye, dan hasil survei atau jajak pendapat tentang elektabilitas peserta pemilu. ((Deytri Robekka Aritonang)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News