KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan menarik pajak terhadap penghasilan natura alias fasilitas yang diterima pekerja di kantor. Hal ini diberlakukan seiring diubahnya aturan soal penghasilan natura. Semula, penghasilan jenis ini tidak dikenai pajak lantaran tidak dihitung sebagai pendapatan. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Reasearch Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, pengenaan pajak ini hampir tidak ada nilai plusnya bagi perusahaan dan juga pegawai. “Bagi pegawai, nilai plusnya hampir tidak ada juga, sedangkan kekurangannya akan muncul secara signifikan ketika PPh Pasal 21-nya selama ini ditanggung pegawai, sehingga pegawai harus menanggung pajak lebih tinggi sehingga
take home pay pegawai tersebut akan berkurang lagi,” kata Prianto, kepada Kontan.co.id, dikutip pada Minggu (21/11).
Sementara itu, Prianto menyampaikan, terdapat tiga kekurangan yang akan diterima perusahaan yakni, pertama, celah pajak (
tax loophole) untuk menghemat pajak tidak ada lagi, kedua, perusahaan harus menjadikan semua imbalan natura dan fasilitas direksi/manajer menjadi tunjangan dan memotong PPh Pasal 21-nya.
Baca Juga: Kata anggota DPR terkait pergantian direksi Mind ID “Perusahaan harus mendenominasikan semua imbalan natura direksi/manajer dengan nilai setara uang. Misalnya, jika selama ini perusahaan memiliki mobil untuk fasilitas direksi/manajer, perusahaan harus memperkirakan imbalan natura yang setara dengan sewa mobil tersebut secara bulanan dari rental,” jelasnya. Ketiga, akan ada potensi pengenaan pajak berganda untuk satu transaksi. Misalnya, perusahaan memberikan fasilitas kendaraan dinas yang disewa dari perusahaan rental. Saat membayar sewa kendaraan, perusahaan harus memotong (a) PPh Pasal 23 atas imbalan sewa dan (b) PPh Pasal 21 ats tunjangan kendaraan dinas direksi. Meski begitu, Prianto mengatakan, adanya pengenaan pajak natura saat ini adalah momentum yang tepat. Hal ini karena pemerintah masih berharap ada peningkatan penerimaan PPh untuk APBN di 2022 dan tahun-tahun selanjutnya. Menurutnya, peningkatan PPh di sektor pemotongan PPh Pasal 21 ini memang menjanjikan karena kontrolnya mudah. Pemerintah yakni otoritas pajak juga tidak perlu mengawasi penghasilan direksi yang jumlah orangnya jauh lebih banyak dari jumlah pemberi kerja. Sebagai gantinya, otoritas pajak lebih fokus pada pemberi kerja yang membayar imbalan tunai dan non-tunai kepada seluruh pegawainya (termasuk direksi/komisaris). Selain itu, selama ini jarang terjadi klaim restitusi PPh 21 oleh pemberi kerja.
Baca Juga: Jalankan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, 43 aturan pelaksana akan diterbitkan Strategi pemerintah dengan perluasan objek PPh 21 di atas juga dibarengi dengan penambahan tarif progresif PPh orang pribadi (35%) untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar. Dengan demikian, perluasan objek PPh di atas berpotensi penghasilan direksi akan meningkat drastis sehingga terkena tarif paling tinggi di 35%. Selama ini, aturan yang ada memungkinkan perusahaan terdapat dua pilihan untuk memperlakukan PPh 21 atas imbalan non-tunai kepada pegawai, termasuk direksi. Dua opsi yang ada tersebut yakni menciptakan perilaku penghindaran pajak (
tax avoidance). Kedua pilihan tersebut adalah
taxability – deductibiliy, atau
nontaxability – nondeductibiliby. Untuk opsi pertama (
taxability – deductibility), Prianto menjelaskan imbalan natura diperlakukan sebagai tunjangan. Contohnya adalah tunjangan kesehatan, tunjangan transportasi, tunjangan komunikasi, dan tunjangan rumah. Cara pertama ini biasanya diterapkan untuk penghasilan pegawai yang total setahunnya hingga Rp 250 juta sehingga perhitungan PPh 21-nya menggunakan tarif 5% dan 15%.
Editor: Tendi Mahadi