Pengamat: Tarif cukai harus sesuai kondisi ekonomi



JAKARTA. Melambatnya pertumbuhan ekonomi dinilai bukan waktu yang tepat untuk menaikkan cukai rokok. Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Bambang Eko Afianto mengatakan pemerintah jangan tergesa-gesa menaikan cukai industri rokok karena akan menjadi bumerang kepada pemerintah.

"Bila cukai terlalu tinggi, target penerimaan APBN pun tak akan tercapai. Tentu pemerintah jadi rugi," jelasnya, Rabu (2/9).

Kondisi ini dilihat dari kurang bergairahnya ekonomi Indonesia untuk saat ini. Pada tahun 2014 saja ketika pemerintah tidak menaikkan cukai rokok karena bertepatan dengan pemberlakuan pengenaan pajak rokok daerah 10%, sudah tercatat ada 10.000 tenaga kerja industri rokok yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).


Belum lagi ditambah gulung tikarnya pabrik-pabrik rokok rumahan. "Ini tentu menambah beban ekonomi," lanjutnya.

Imbasnya tak hanya pekerja dan pengusaha industri rokok, tapi juga petani tembakau dan cengkeh yang akan merasakan kerugian ini.

Menurut Bambang, kenaikan yang wajar untuk cukai dengan kondisi ekonomi saat ini adalah 7 %. Kalau lebih dari itu sudah membebani banyak orang. "Industri rokok harus sangat diperhatikan karena industri ini menyumbang signifikan untuk APBN," ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah kembali menaikkan target cukai rokok di dalam RABPN 2016  dari sebelumnya Rp 139,1 triliun menjadi Rp 148,9 triliun di tengah kondisi ekonomi yang sedang mengalami perlambatan.

Kenaikan ini menjerat industri rokok karena mengacu pada base look inflasi dengan hitungan 14 bulan, bukan 12 bulan.

Dengan perhitungan ini kenaikan cukai rokok mencapai 23%, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang hanya berkisar di antara 7%-9%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto