Pengamat: Tekanan global masih menghambat perekonomian Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 diprediksi masih sulit tumbuh 5,3%. Hal ini diungkapkan oleh beberapa ekonom dalam acara seminar nasional prospek ekonomi Indonesia di tengah turbulensi kurs rupiah, di Kwik Kian Gie School of Bussines, Rabu (14/11).

"Ekonomi Indonesia akan suram," ungkap Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy dan Policy Studies (PEPS). Menurutnya, kondisi ekonomi dalam negeri tergantung pada harga minyak mentah. Di luar itu, banyak hal yang tak bisa dikendalikan seperti depresiasi rupiah dan tekanan global lainnya.

Current account defisit (CAD) misalnya, akan mengecil jika harga minyak turun. Sedangkan harga minyak brent menembus US$ 80 per barel atau tertinggi sejak kuartal IV-2014, alhasil CAD melebar US$ 8,8 miliar lebih besar ketimbang kuartal II-2018 yang sebesar US$ 8 miliar. "Neraca pembayaran kita sudah defisit sejak 2011 kuartal IV, terakhir US$ 22,9 miliar akumulasinya. Kalo harga minyak turun CAD mengecil, jelasnya lagi," jelasnya.


Kondisi ini dipertegas dengan defisit migas pada September 2018 sebesar US$ 1,07 miliar. Defisit ini dikaitkan dengan oil price defisit impor lebih banyak karena harga minyak meningkat. "Bukan karena perdagangan kita hebat," jelasnya.

Sedangkan Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Indef menyoroti foreign direct investmen (FDI) yang lemah. Menurutnya, capital outflow negara emerging market cukup besar. Negara perlu pastikan FDI masuk.

"yang harus kita lakukan tentu gimana investasi yang datang memberikan nilai tambah dan itu harus masuk ke industri pengolahan tidak seperti sekarang ke masuk ke pertambangan bahkan hanya menjual komoditas," ungkapnya. Dia menjelaskan, FDI harus berorientasi pada ekspor. Setidaknya langkah ini bisa membuat pertumbuhan ekonomi di angka 5,1%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .