Pengamat Ungkap Alasan Pemerintah Suka Impor Pangan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masalah kenaikan impor komoditas pangan menjadi sorotan, termasuk dalam debat calon wakil presiden (cawapres) semalam, Minggu (21/1). 

Mengamati hal itu, Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian menilai sebab utama pemerintah masih melakukan impor pangan karena stagnasi produksi pertanian dalam negeri. Sementara kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. 

"Stagnasi terjadi karena minimnya adopsi penggunaan teknologi serta inovasi dan dukungan pemerintah belum sepenuh hati," kata Eliza pada Kontan.co.id, Senin (22/1). 


Stagnasi juga terjadi karena pemerintah hanya fokus pada program besar seperti food estate untuk meningkatkan produksi saja. Lebih dari itu, kebutuhan mendasar petani seperti kesejahteraannya justru kerap diabaikan. 

Baca Juga: Stabilisasi Harga Barang Pokok, Kemendag Pastikan Tata Niaga Importasi Tepat Waktu

Padahal melalui program food estate, petani tetap terpinggirkan karena petani hanya berperan sebagai buruh, bukan pemilik lahan. Belum lagi, mereka juga kerap merugi karena perencanaan food estate yang kurang apik. 

"Program peningkatan kesejahteraan petani seharusnya menjadi acuan untuk membuat program. Dengan paradigma seperti itu, pilihan kebijakan akan mementingkan kepentingan petani di atas kepentingan investor," jelas Eliza. 

Eliza menilai, petani Indonesia sulit sejahtera karena secara fundamentalnya belum dibenahi. Misalnya terkait dengan kepemilikan lahan yang kian menyusut.

Pada tahun 2023, jumlah petani gurem mencapai 16,89 juta rumah tangga. Angkanya naik 18,54% dari tahun 2013 hanya 14,25 juta petani gurem. 

Mengatasi masalah penyempitan lahan ini harus menggunakan reformasi agraria dengan redistribusi lahan. 

"Perusahaan atau perorangan yang kepemilikan lahannya sangat luar biasa luasnya semestinya di redistribusikan kepada petani," ungkap Eliza. 

Baca Juga: Apa Itu Food Estate dan Seperti Apa Food Estate di Gunung Mas?

Kedua, minimnya anggaran pertanian untuk kesejahteraan petani. Saat ini anggaran Kementerian Pertanian relatif masih kecil. Padahal sektor ini menyerap 39 juta tenaga kerja di Indonesia. 

"Sulit mengharapkan program optimal untuk petani jika anggarannya relatif kecil," jelas Eliza.  

Ketiga, tidak ada upaya mitigasi dan mengatasi kerentanan petani dari dampak pembangunan. Misalnya saja pembangunan infrastruktur atau industri yang telah mengonversi lahan seringkali mengganggu aliran irigasi. 

Padahal air menjadi komoditas utama yang dibutuhkan petani. Belum lagi, pengabaian atas lahan pertanian oleh limbah industri. 

Beberapa hal tersebut yang menurutnya membuat produksi pertanian dalam negeri kian menyusut. Alih-alih melakukan perbaikan, pemerintah kerap menggunakan jalan pintas yaitu impor untuk memenuhi kebutuhan pangan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari