Pengamat Ungkap Kekhawatiran PLN dalam Skema Power Wheeling



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ahli Transisi Energi yang juga Direktur Eksekutif Institute Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengungkap kekhawatiran Perusahaan Listrik Negara (PLN) jika skema power wheeling masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).

“Yang saya lihat kekhawatiran yang ada pada PLN, meskipun power wheeling ini tidak hanya berlaku pada PLN. Di Indonesia kan ada sekitar 50-an pemilik usaha non-PLN. Jadi, mereka juga punya jaringan, nah ini (UU EBET) akan mengatur PLN dan non-PLN,” ungkap Fabby saat dihubungi Kontan, Kamis (03/05). 

Ia menambahkan, kekhawatiran PLN atas skema power wheeling bisa berasal dari banyak sisi. Contohnya soal penjaminan security of supply, kemudian jika transmisi penuh siapa yang bertanggung jawab atas investasi, keandalan jaringan, ekspansi kapasitas, dll. 


Baca Juga: Skema Power Wheeling Bakal Kerek Tarif Listrik?

“Saya kira perlu adanya power wheeling, tapi jangan sampai pemilik transmisi itu jadi korban. Dalam hal ini, jangan sampai PLN jadi korban artinya memang tarif untuk sewa jaringannya itu harus diatur sehingga mencakup titik, bukan hanya biaya jalur lewatnya tapi juga biaya lain misalnya mempertahankan keandalan, serta mempertahankan untuk ekspansi,” jelasnya.

Fabby menambahkan tarif dari skema ini juga harus proporsional, artinya jangan malah menambah resiko. 

“Istilahnya, kalau bangun transmisi itu kan mahal dan resiko tinggi, kemudian orang mau pake aja, kan enak yang tinggal menggunakan saja. Itu nanti harus diatur di tarif, saya rasa win-win solution-nya di situ. Karena setahu saya PLN agak resisten terhadap ide ini,” tambahnya. 

Untuk menjawab kekhawatiran ini, Fabby mengatakan RUU EBET ini harus bisa mengamanatkan adanya Peraturan Pemerintah (PP) khusus untuk mengatur power wheeling, dan peraturan detail atau teknisnya diturunkan lewat peraturan Menteri ESDM.

Baca Juga: Skema Power Wheeling Diperlukan Asal Memperhatikan Hal Ini

“Tapi harus ada peraturan yang lebih detail, karena undang-undang kan paling 2-3 pasal, gak banyak. Padahal banyak aspek dalam power wheeling yang belum dibahas dalam RUU itu,” ungkapnya.

Terkait skema pembayaran, Fabby mengatakan power wheeling atau terpatri akses menggunakan toll fee seperti yang sudah diterapkan di industri gas bumi.

“Kalau terpatri akses, kita bayar toll fee, jadi bukan bayar sewa. Ini seperti yang diterapkan di gas bumi, jadi pipa gas milik Perusahaan Gas Negara (PGN) misalnya dipakai untuk mengaliri gas dari produsen yang non-PGN,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .