Pengampunan pajak belum siap, kontroversi menguat



JAKARTA. Pembahasan RUU Pengampunan Nasional memantik kontroversi.

Meski telah diubah menjadi pengampunan pajak, calon beleid ini dinilai belum bisa diterapkan di Indonesia.

Belum lagi ada kabar, RUU ini menjadi barter dengan revisi UU KPK dengan parlemen.


Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional nampaknya masih akan berlanjut. 

Badan Legislatif (Baleg) tetap membahas RUU ini meskipun muncul banyak penolakan di masyarakat.

Menjawab sejumlah keberatan, Baleg dan pemerintah telah mengubah ketentuan sebelumnya.

Pertama, batal memasukkan pidana umum seperti korupsi dan kejahatan besar lainnya.

Kedua, mengurangi prosentasi uang tebusan dari sebelumnya mulai 3% hingga 8%, menjadi 2% hingga 6%.

Ketiga, adanya jaminan bahwa data wajib pajak yang diserahkan tidak akan jatuh ke pihak lain.

Kabar yang diterima KONTAN, DPR dan pemerintah berkeras untuk membahas RUU pengampunan nasional karena telah terikat dengan kesepakatan.

Dalam kasus ini, DPR menyodorkan draf revisi atas UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan pemerintah mengajukan RUU Pengampunan Nasional.  

Kesepakatan ini tetap jalan meskipun Presiden Joko Widodo membatalkan pembahasan revisi UU KPK dengan alasan bukan prioritas dan menjadikan di 2016.  

Rencana pemerintah dan DPR RI untuk membahas klausul pengampunan pajak alias tax amnesty dalam RUU Pengampunan Nasional juga mendapat kritikan dari sejumlah LSM yang bergerak di sektor pertambangan.

Pasalnya, calon kebijakan itu dirasa kurang adil dan justru menimbulkan ketidakpastian hukum.

Wiko Saputra, Peneliti Kebijakan Ekonomi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bilang, jumlah aliran uang ilegal di Indonesia mencapai Rp 227,75 triliun pada 2014.

Nah, sektor pertambangan menyumbang porsi terbesar dalam aliran uang yang bertujuan untuk menghindari atau upaya penggelapan pajak, jumlahnya sekitar Rp 23,89 triliun.

Menurut dia, aliran uang ilegal di sektor pertambangan umumnya lewat transaksi faktur palsu, maklum hal tersebut dilakukan oleh pelaku tambang ilegal alias ilegal mining.

Selain itu, juga tak menutup kemungkinan kejahatan penggelapan pajak turut melibatkan perusahaan pertambangan baik minyak dan gas bumi (migas) maupun mineral dan batubara skala besar.

Sebagai gambaran, data realisasi penerimaan pajak di sektor pertambangan hanya sebesar Rp 96,9 triliun.

"Bandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) sektor pertambangan yang mencapai Rp 1.026 triliun, artinya rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) hanya sebesar 9,4%," kata Wiko, akhir pekan lalu.

Sebab itu, Wiko keberatan rencana pemberian pengampunan pajak pada pengusaha termasuk di sektor pertambangan yang berpotensi terlibat dalam ilegal mining serta kerusakan lingkungan.

"Melihat praktik kejahatan perpajakan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan, sangat tidak adil jika mereka diberikan pengampunan," kata dia.

Rachmi Hertanti, Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ) menambahkan, wacana pemerintah pemberian pengampunan pajak dan kejahatan keuangan lainnya bagi pengusaha, termasuk pengusaha tambang, akan semakin melanggengkan pelanggaran HAM korporasi di Indonesia.

Menurut dia, pengampunan pajak bukanlah solusi tepat, dalam upaya peningkatan penerimaan negara.

Pengamat pajak Yustinus Prastowo mengatakan, untuk memperbaiki penerimaan pajak dan menarik aset WNI di luar negeri, semestinya pemerintah fokus pada aspek penegakan hukum dengan menindak tegas, termasuk pada perusahaan pertambangan yang tidak memiliki NPWP dan tidak membayar pajak.

Selain itu, regulasi dan sistem administrasi perpajakan diperbaiki, dan memperkuat kelembagaan pengawas.

Sebaiknya pemerintah fokus memperbaiki empat hal itu lebih dahulu.       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto