Pengampunan Pajak II perlu terobosan pembiayaan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menandatangani revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118/2016. Revisi PMK ini membuka jendela ampunan bagi yang tidak ikut amnesti pajak dan bagi peserta amnesti pajak yang belum melaporkan seluruh hartanya.

Mereka tidak akan dikenai sanksi asalkan mengungkapkan sendiri harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan (2015) bagi yang bukan peserta amnesti pajak, atau belum diungkapkan dalam SPh bagi peserta amnesti pajak. 

Namun demikian, dalam praktiknya nanti, Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, meski jendela ampunan yang dicanangkan pemerintah ini bisa jadi jalan keluar, tetap akan ada problem konkret bagi WP yang ingin manfaatkan kesempatan itu, yakni WP tidak kuat membayar jika nilainya besar dan tak memiliki uang kontan.


Oleh karena itu, jalannya kebijakan ini juga perlu solusi, apakah ada skema installment atau cicilan. “Sebaiknya demikian. Problem waktu amnesti pajak jangan terulang. Banyak yang mau ikut tidak kuat bayar uang tebusan atau lunasi utang. Harus kreatif dicarikan jalan keluar,” ujarnya kepada KONTAN, Minggu (19/11).

“Skema-skema pembiayaan kan juga bisa. Apakah dimungkinkan mengagunkan aset lalu utang ke bank? Kemenkeu bisa memfasilitasi di level MoU dengan OJK,” lanjutnya.

Namun demikian, hal ini memang butuh terobosan. Direktur Pelayanan dan Penyuluhan (P2) Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, saat ini ketentuan yang ada tidak memungkinkan hal ini untuk diberikan kepada WP.

"Tidak bisa dicicil," ujarnya.

Yustinus  mengatakan, dengan adanya jendela ampunan ini, penerimaan pajak tahun ini bisa lebih optimistis mendekati target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017 yang sebesar Rp 1.283,57 triliun.

“Jika berhasil 1,5 bulan ini, karena waktu mepet dan mesti prioritas, apalagi sifatnya himbauan dulu, seharusnya bisa ditargetkan 3% hingga 5%. Jadi, bisa 95% hingga 97%,” kata dia.

Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa Ditjen Pajak dalam hal ini harus memiliki kesiapan data akurat sehingga ada target yang terukur. Ia mengatakan, apabila data akurat cukup banyak dan bisa digunakan untuk bargaining, seharusnya akan ada peningkatan penerimaan karena skemanya tak perlu lagi audit, tetapi cukup membetulkan atau menyampaikan SPT PPh Final.

“Sejauh data akurat dan tak ada dispute, seharusnya bisa segera dilakukan pembetulan/penyampaian SPT. Maka, ini batu uji akurasi data dan kemampuan persuasi/memenangkan opini,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia