JAKARTA. Kebijakan pengampunan pajak atau
tax amnesty terganjal pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Parlemen dan pemerintah sepakat untuk menyelesaikan RUU KPK lebih dulu. Sofjan Wanandi, Kepala Staf Ahli Wakil Presiden, kepada KONTAN, mengatakan, pembahasan RUU Tax Amnesty hingga kini belum bergerak, meski pemerintah telah melayangkan amanat presiden (Ampres) ke parlemen. Bahkan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan parlemen juga sudah sepakat dengan semua poin dalam RUU Tax Amnesty. "Kami menunggu revisi UU KPK dulu," ujar Sofyan, kemarin (9/2).
Tak ayal, target pemerintah agar RUU Tax Amnesty ini kelar Februari terancam gagal. Konsekuensinya, penerimaan pajak, utamanya dari pengampunan pajak yang diproyeksi bisa mencapai Rp 60 triliun kembali terancam. Banyak yang menduga, penyelesaikan RUU KPK terlebih dulu karena parlemen ingin upaya mengurangi peran dan fungsi lembaga anti rasuah ini berhasil. Namun, buru-buru dugaan ini ditepis. Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hendrawan Supratikno bilang, parlemen mengebut pembahasan revisi UU KPK. Bahkan, kemarin malam, DPR sudah melakukan harmonisasi atas revisi UU KPK. Targetnya, Kamis (11/2) , DPR akan mengesahkan isi revisi UU KPK inisiatif DPR di paripurna. Dari situ, DPR akan mengirimkan revisi UU KPK ke Presiden. "Setelah itu, pembahasan dilakukan bersama-sama dengan RUU tax amnesty," katanya, kemarin. Toh, imbuh Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Firman Soebagyo, hanya ada 27 pasal dalam RUU tax amnesty. Makanya, Firman yakin DPR bisa segera mengesahkan RUU ini. Sayang, Firman enggan menyebut isi RUU tersebut dengan alasan belum mulai dibahas di DPR. Beberapa poin penting dalam draf final RUU Tax Amnesty, adalah dua opsi tarif tebusan pajak. Pertama: mulai 1%, 2%, dan 3% untuk wajib pajak yang menarik dananya yang ada di luar negeri ke Indonesia atau repatriasi aset. Syaratnya: Dana yang masuk tidak boleh ditarik kembali selama satu tahun dan disimpan di Indonesia.
Kedua, bagi wajib pajak yang tidak mau melakukan repatriasi, tarifnya tebusan pajak mulai 2%, 4%, atau 6%, sesuai dengan termin pengajuan pengampunan pajak. Selain tarif, pemerintah akan menggunakan basis penghitungan tahun pajak 2014. L aporan kekayaan 2014 ini akan dipakai sebagai pengurang total harta bersih yang ingin dapat pengampunan. Selisihnya akan dikenakan tarif pengampunan pajak. Meski kebijakan ini menarik, kata Tony Wenas, Presdir PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), kebijakan ini harus 100% bulat, didukung semua kementerian dan lembaga, termasuk KPK. Jika tidak, "Malah menimbulkan ketidakpastian," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie