KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengaruh imported inflation (inflasi dari barang impor) berpeluang tetap ada dalam inflasi umum tahun 2023. Namun, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede meyakini tekanan imported inflation akan melandai pada tahun ini. "Ancaman imported inflation masih relatif lebih landai dari tahun lalu. Kondisi di 2023 lebih baik dibandingkan dengan 2022," tutur Josua kepada Kontan.co.id, Selasa (3/1).
Josua menjabarkan alasannya. Pertama, kemungkinan depresiasi nilai tukar rupiah yang lebih landai dari tingkat depresiasi pada tahun 2022. Baca Juga: Jaga Laju Inflasi 2023, Imported Inflation Perlu Jadi Perhatian Pun bila menilik depresiasi rupiah pada tahun 2022, Josua mengatakan pelemahannya sekitar 8% hingga 9% secara kumulatif. "Kecuali, pelemahannya signifikan sekali, atau lebih dari 15% hingga 20%, maka akan memberi dampak signifikan ke imported inflation," jelas Josua. Kedua, inflasi global yang mulai melandai. Pada tahun 2022, ada masalah terkait dengan kenaikan harga bahan baku karena disrupsi rantai pasok dan masalah kontainer atau terkait logistik. Memasuki tahun 2023, Josua memandang kondisi saat ini jauh lebih baik. Sehingga, ini akan mengurangi beban imported inflation pada tahun 2023. Ketiga, produsen yang nampaknya tak akan membebankan kenaikan harga produksi secara berlebihan kepada konsumen untuk menjaga volume penjualan. Baca Juga: Intip Rekomendasi Saham Pilihan yang Menarik dari Ajaib Sekuritas untuk Jumat (23/12) "Bila harga-harga barang naik, malah akan menambah beban produsen. Permintaan masyarakat bisa berkurang, ini akan memukul mereka dari dua sisi," katanya. Keempat, upaya Bank Indonesia (BI) dalam menjaga nilai tukar rupiah. BI telah mengerek suku bunga acuan dan memberi dampak pada stabilitas rupiah. Selain itu, BI akan memperkenalkan kebijakan operasi moneter valas. Harapannya, ini akan menambah suplai valas dalam negeri sehingga bermuara pada makin kuatnya otot rupiah.