Layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi atau yang umum dikenal dengan Fintech Lending, tumbuh dengan sangat cepat di Indonesia. Di satu sisi, hal ini dapat membantu mengisi kebutuhan pembiayaan yang tidak mampu dipenuhi oleh perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Namun, disisi lain, banyak masyarakat yang menjadi korban dari layanan Fintech Lending yang menyalahi peraturan dan etika bisnis. Umumnya kerugian yang dialami masyarakat diakibatkan oleh metode penagihan yang tidak etis, seperti intimidasi, pelanggaran terhadap privasi, teror, dan lain-lain. Ada juga keluhan pengenaan suku bunga, dan biaya lain yang terlampau tinggi. Terkait metode penagihan yang tidak etis, banyak masyarakat yang menjadi korban akibat praktik yang tidak terpuji tersebut. Sebagai contoh, hingga saat ini lebih dari 4.600 orang telah menandatangani sebuah petisi online di change.org dengan judul Penagihan Pinjaman Fintech Sangat Meresahkan. Petisi ini berisi tentang tuntutan kepada Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), dan Presiden untuk segera menangani hal tersebut.
Lebih jauh, salah satu contoh praktik penagihan yang tidak terpuji tersebut bahkan hingga mengakibatkan seorang karyawan pengguna fasilitas fintech lending dipecat dari pekerjaannya (Tribun Jawa Barat, Agustus 2018). Akibat dari telat membayar pinjaman dari dua fintech lending, ia ditagih oleh debt collector dengan mengirimkan pesan pendek kepada seluruh kontak kontak yang ada di HP peminjam tersebut. Bahkan, debt collector tersebut membuat suatu grup WhatsApp yang berisikan teman, keluarga, dan atasan untuk menagih dan mempermalukan peminjam. Berikutnya, terkait kerugian dalam penerapan suku bunga dan biaya lain yang tinggi. Banyak masyarakat yang terbebani dengan hal tersebut, beberapa dari mereka mengeluh bahwa bunga fintech lending mencapai hingga 30% per bulan. Bahkan, pada Maret 2018, Ketua Dewan Komisioner OJK pernah mengeluarkan pernyataan kontroversial yaitu bahwa dengan suku bunga yang tinggi fintech lending tidak ubahnya seperti rentenir online. Sistem pencegahan dini OJK secara khusus memang telah melakukan beberapa tindakan untuk menangani hal tersebut. Namun, secara umum pengawasan yang dilakukan masih cukup lemah dan terkesan menunggu laporan dari masyarakat. Seharusnya OJK, bisa lebih proaktif dan melakukan aksiaksi preventif. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, Pusat Penelitian Ekonomi LIPI (P2E-LIPI) membangun suatu sistem pengawasan fintech berbasis big data yaitu melalui pemanfaatan ulasan (review) di Google Play. Dengan memanfaatkan data ulasan Google Play sebanyak 40.650 ulasan dari 110 aplikasi fintech lending sepanjang 3 Maret 2016 hingga 28 Agustus 2018, P2E-LIPI membuat suatu kategori penilaian berdasarkan empat aspek yaitu legalitas, ratarata nilai ulasan, rasio ulasan negatif terkait metode penagihan, dan rasio ulasan negatif terkait suku bunga dan biaya lain. Pengklasifikasian terdiri dari 5 kategori dari A-E dimana A merupakan nilai yang paling baik yang bisa didapatkan jika fintech lending itu terdaftar di OJK, mempunya nilai ratarata ulasan diatas 3, dan memiliki rasio ulasan negatif yang wajar terkait penagihan dan tingkat suku bunga. Sebaliknya, jika pada keempat aspek tersebut mendapatkan nilai buruk, maka fintech lending tersebut masuk kedalam kategori E dan harus segera ditindak untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak. Dengan menggunakan metode relational database, structured query language, dan analisis teks, ditemukan beberapa hasil. Pertama, sebanyak 77% aplikasi fintech lending yang terdapat di Google Play merupakan aplikasi illegal yang tidak terdaftar di OJK. Kedua, ratarata nilai ulasan dari fintech lending yang terdaftar di OJK lebih baik dibandingkan dengan yang illegal. Ketiga, masih cukup banyak ditemukan ulasan negatif terkait metode penagihan yang tidak etis dan pengenaan suku bunga yang tinggi. Terakhir, keempat terdapat dua fintech lending yang mendapatkan kategori E dan perlu segera ditindak. Untuk memberikan gambaran, di bawah ini merupakan contoh ulasan terkait kedua hal tersebut yang didapatkan secara langsung dari Google Play: Bahaya jangan pinjam kesini. Tidak terdaftar di OJK telat sehari diancam mau dicelakai dijalan. Mau diperkosa segala. Ya allah sekarang lagi saya proses pengaduan ke pihak OJK dan badan satgas perlindungan konsumen. Atau Pinjam Rp 1,2 juta tenor 28 hari kembalikan jadi 1.9 juta? Itu bunga apaan sampe 50% lebih cuma dalam 28 hari? Laporin OJK aplikasi lebih parah dari rentenir macem gini, Rentenir aja 20% Woi...! Sistem ini juga mampu berperan sebagai sebuah peringatan dini (early warning system) bagi regulator dalam mengawasi fintech lending, mengingat pengambilan data bisa dilakukan secara realtime detik demi detik. Jika saja sistem ini diterapkan sejak awal tahun, maka kasus kasus yang telah mencuat di media massa yang menimbulkan banyak korban bisa dihindari atau diminimalkan. Berdasarkan hasil pembuktian mundur (backtrace) dari riset ini, menemukan bahwa sesungguhnya kasus-kasus tersebut telah terdeteksi lebih dini dan memunculkan nama nama fintech lending yang bermasalah tersebut ke dalam kategori E. Fintech lending menjalankan bisnisnya dengan menggunakan teknologi yang tinggi. Karena itu, sepatutnya OJK menggunakan pendekatan pengawasan yang tidak konvensional melalui pemanfaatan sistem ini. Lebih jauh, melihat begitu besarnya potensi sistem ini, sudah seharusnya OJK menerapkan sistem pengawasan berbasis big data tersebut agar bisa melakukan salah satu fungsinya untuk melindungi konsumen dengan lebih optimal. Selain itu, sistem ini juga memungkinkan OJK untuk lebih proaktif dan preventif, tanpa harus menunggu laporan yang dibuat secara resmi oleh konsumen karena hal ini berakibat pada terlambatnya penanganan OJK. Terakhir, terkait banyaknya fintech lending illegal dimana mereka mendapatkan rata rata nilai ulasan yang lebih buruk, maka otoritas terkait perlu membendung aplikasi fintech lending yang illegal untuk masuk kedalam platform seperti Google Play. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula OJK menggandeng secara aktif Kemkominfo dan penyedia platform seperti Google.
Caranya adalah dengan memberikan daftar fintech illegal yang resmi kepada Kemkominfo dan Google. Setelah itu, jika ada suatu aplikasi yang mendaftarkan diri ke Google Play, maka Google perlu memeriksa apakah aplikasi tersebut merupakan fintech lending. Jika iya, maka Google perlu mencocokkan dengan daftar yang diberikan oleh OJK, jika tidak ada didalam daftar maka Google perlu memberikan notifikasi dan meminta persetujuan kepada Kemkominfo dan OJK apakah aplikasi tersebut bisa didaftarkan di Google Play atau tidak.•
Nika Pranata Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi