Pengelola dana negara produsen minyak akan jual saham US$ 225 miliar di pasar



KONTAN.CO.ID -LONDON.  Pengelola dana-dana kekayaan negara penghasil minyak terutama di Timur Tengah dan Afrika akan membuang investasi sahamnya hingga US$ 225 miliar. Langkah ini dilakukan karena anjloknya harga minyak dan pandemi corona (covid-19)  yang menghantam keuangan negara-negara penghasil minyak itu,

“Penyebaran virus corona yang sangat cepat telah merusak ekonomi global, mengirim pasar saham ke kejatuhan serta menelan biaya dana kekayaan negara-negara berbasis minyak dan non-minyak sekitar U$ 1 triliun dalam kerugian ekuitas,” ujar ahli strategi JPMorgan (NYSE: JPM) Nikolaos Panigirtzoglou kepada Reuters (30/3). Kata dia, proyeksi ini bersumber dari riset pengelolaan dana  Sovereign Wealth Fund Institute.

Mempertahankan investasi saham dan mempertaruhkan lebih banyak kerugian bukanlah pilihan dari negara-negara penghasil minyak tersebut pada saat ini. Pasalnya, pemerintah mereka saat ini juga menghadapi kesulitan keuangan ganda. Yakni  pendapatan mereka jatuh akibat penurunan harga minyak serta meroketnya pengeluaran karena harus mengeluarkan anggaran darurat untuk corona.


“Sekitar US$ 100 - US$ 150 miliar saham kemungkinan sudah dijual oleh para memilik dana, produsen minyak, tidak termasuk Norwegia, dalam beberapa minggu terakhir ini,” kata Panigirtzoglou. Penjualan saham akan berlanjut yakni sekitar US$ 50- US$$ 75 miliar  dalam beberapa bulan mendatang. Sebagian besar dana hasil penjualan saham diperlukan untuk menyangga ketersediaan uang tunai dalam jumlah besar jika harga minyak jatuh dan memicu permintaan pemerintah untuk pendanaan, antara lain untuk corona.

Sebuah sumber di sovereign fund yang biasa memutar dana dari negara berbasis minyak mengatakan, secara bertahap, mereka memang akan meningkatkan posisi likuiditas sejak harga minyak mulai jatuh dari puncak terbaru mereka di atas US$ 70 per barel pada Oktober 2018. “Selain cadangan kas, likuiditas tambahan biasanya diambil pertama-tama dari instrumen pasar uang jangka pendek seperti surat berharga, kemudian berlanjut dari ekuitas,” ujar sumber itu.

Elliot Hentov, Kepala Penelitian Kebijakan di State Street (NYSE: STT) Global Advisors mengatakan, sejak krisis, ada pergeseran arah simpanan uang.  Pemilik dana melakukan penyesuaian terhadap investasi saham karena kerugian akibat turunnya pasar, baik untuk membendung kerugian dan posisi untuk pemulihan portfolio mereka.

Hanya, tak satupun dari sumber tersebut bersedia menyebut besaran dana-dana negara-negara penghasil migas tersebut, termasuk sahamnya.

Sampai dengan Kamis, (26/3),  Norwegia mengatakan telah kehilangan US$ 124 miliar tahun ini karena jatuhnya pasar saham. Meski begitu, mantan CEO Norges Bank Invesment Management  Yngve Slyngstan  mengatakan pada titik tertentu, mereka akan kembali membeli saham untuk mendapatkan portofolionya dam ke target alokasi saham sebesar 70% dari 65% saat ini. Kata Slyngstad, setiap pengeluaran fiskal oleh pemerintah Norwegia tahun ini dibiayai dengan penjualan obligasi dalam portofolio saham.

Simpanan Norwegia  yang didukung oleh kekayan energi dalam signifikan dari total U$ 8,40 triliun dari total aset kekayaan negara.  Dana ini disiapkan sebagai benteng ketika pendapatan minyak mengering.

Dana pemerintah telah menjadi pemain utama di pasar saham global, terhitung sekitar 5%-10% dari total kepemilikan, dan sumber pendapatan penting bagi para manajer aset Wall Street.

Efek penurunan pasar saham memukul pendapatan hingga 20% para pengelola dana daro negara-negara  berbasis minyak seperti Abu Dhabi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Arab Saudi, Nigeria dan Angola.

Menurut Garbis Iradian, Kepala Ekonom Timur Tengah dan Afrika Utara di Institute of International Finance (IIF), dana kekayaan negara berdaulat Teluk turun sebesar US$ 296 miliar akhir tahun ini. “Sekitar US$ 216 miliar dari penurunan saham dan $ 80 miliar dari penarikan yang diambil oleh pemerintah,” ujar Iradian.

Bank-bank sentral Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar telah menawarkan total stimulus US$ 60 miliar, meskipun ekspektasi likuiditas yang lebih ketat telah menekan mata uang Teluk  selama beberapa dekade terhadap dolar AS.

Editor: Titis Nurdiana