JAKARTA. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil
Gross Split masih memantik polemik. Kali ini dari operator minyak dan gas (migas). Mereka tak yakin skema ini akan mampu mengembalikan biaya investasi atau
internal rate of return (IRR) lebih cepat. Mereka justru khawatir, skema ini akan membuat investasi mereka lambat balik. Ini berbeda dengan keyakinan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, menyatakan, tingkat IRR hulu migas dengan skema
gross split akan sangat tergantung pada karakteristik cadangan migas Indonesia. Tentu saja, ini berbeda dengan negara-negara lain.
Tapi, "Kami harap lebih kompetitif karena karakter
reservoir-nya juga beda," ujar Wiratmaja, Jumat (20/1). Dia membandingkan sistem
gross split di Indonesia yang ini dengan sistem
gross split di Libia. Dari segi karakteristik kolam minyak dan gas yang tersimpan di perut bumi atau
reservoir, Libia lebih unggul karena mudah sehingga menarik minat investor. Namun, kata Wiratmaja, dari sisi permukaan, Indonesia unggul. Apalagi soal masalah keamanan. Dengan begitu, Indonesia menjadi lebih menarik untuk masuknya investasi di hulu migas dengan sistem
gross split ini. Wiratmaja bahkan menjamin minimum investasi hulu migas di Indonesia akan mendapatkan IRR sebesar 12%. Namun, bila investor menemukan cadangan migas di lapangan yang kondisinya cukup baik, mereka bisa mendapatkan IRR hingga 20%. "Tergantung lapangan yang dia dapat," katanya. Sebagai gambaran, lapangan migas Indonesia saat ini mayoritas berada di wilayah marjinal atau laut dalam. Makanya pemerintah menyiapkan insentif berupa tambahan split dalam skema
gross split ini. "Supaya IRR-nya kekejar. Kami kasih, minimum dia dapat IRR 12%," ujarnya. Pemerintah berharap skema bisa membuat lapangan migas Indonesia menarik investor. "Investor jarang yang mau ke sini, buktinya lelang Wilayah Kerja (WK) belum ada ada laku," ujarnya. Pada tahun 2017 ini, pemerintah mulai menawarkan skema
gross split. Wiratmaja berharap akan banyak investor yang mengikuti lelang blok migas Indonesia. Director of Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengungkapkan, IPA selalu disertakan, hampir di setiap rapat saat pemerintah akan mengeluarkan kebijakan baru. Makanya, IPA mendukung skema
gross split ini untuk efesiensi di industri migas. "Tapi kami ingin memastikan tingkat keekonomian tidak turun dengan sistem yang ada sekarang," ujar dia. Marjolijn menyebut, saat ini investasi hulu migas di Indonesia memang kurang menarik dibandingkan dengan investasi di negara lain sekawasan. "Karena
gross split, ini sudah diundangkan, sebagai upaya
continue improvement kami mohon kajian insentif terutama untuk laut dalam, voliter dan EOR
(enhanced oil recovery). Ke depannya kami mau kesana. Kami minta dibuat kajian lebih baik," ungkap dia. Dia belum bisa memberikan tanggapan soal
gross split minimum IRR bisa 12%. "Saya belum pernah mendengar bahwa dengan
gross split, minimum IRR adalah 12%. Apakah di Permen nya ada menyebutkan hal itu? Saya akan periksa dulu tetapi semuanya harus ada di permen ESDM," ujar dia.
Pengamat Energi dari ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai, kontraktor migas itu prinsipnya semakin tinggi IRR maka mereka akan semakin tertarik masuk. "IRR 12% mungkin termasuk ekonomis bagi kontraktor, tapi tergolong marginal. IRR 15% saja termasuk marginal," ungkap Agung. Agung mengatakan, cara sederhana membandingkan skema
gross split dengan sebelumnya adalah berkaca pada IRR di lapangan migas eksisting yang sudah dikelola kontraktor migas. "Kalau dengan bagi hasil eksisting mereka bisa di atas 15% IRR nya, lalu ditawari
gross split dengan IRR 12%, ya pasti tidak akan kemudian begitu saja menerima," imbuh Agung. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie