KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana mengerek harga rumah bersubsidi tahun 2019. Saat ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR) tengah menggodok formula kenaikan harga rumah subdisi tahun depan. Pengembang mengusulkan kenaikan harga rumah subsidi tahun depan rata-rata 10%. Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata kenaikan pada tahun- tahun sebelumnya yang hanya mencapai 5%. Bahkan di tiga daerah yang memiliki harga lahan yang sudah sangat tinggi, kenaikannya diusulkan lebih tinggi lagi. Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengatakan, usulan kenaikan harga rumah subsidi tahun depan lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Pertimbangannya biaya akusisi lahan sudah semakin mahal dan biaya material bangunan juga mulai naik sejalan dengan penguatan dollar AS.
"Sistem kenaikannya harga tahun 2018 sebesar 5% sangat baik karena hanya memperhitungkan inflasi. Walaupun inflasi 3,8%, tetapi masih dikasih ruang kenaikan 1,2%. Sementara tahun depan, banyak faktor yang harus diperhatikan. Selain inflasi, biaya konstruksi juga naik karena material bangunan akan mengalami kenaikan dengan penguatan dollar." kata Soelaeman, Sabtu (29/9). Tahun-tahun sebelumnya, lanjut Soelaeman,
overhead pengembang seperti biaya marketing, bungan bank, dan lain-lain tidak dimasukkan dalam formula kenaikan harga rumah subsidi. Oleh karena itu, dalam usulan kenaikan rata-rata 10% tersebut sudah memperhitungkan biaya
overhead tersebut. Adapun tiga daerah yang harga tanahnya sudah sangat mahal yaitu Bali, Yogyakarta, dan Batam, kenaikan harganya diusulkan bisa mencapai 20%. Wilayah Aceh juga diusulkan mengalami kenaikan harga yang sama dengan ketiga karena biaya konstruksi untuk membangun rumah disana jauh lebih mahal karena harus berstandar tahan gempa. Soelaeman menambahkan, pemerintah harus juga memperhatikan margin yang didapat pengembang. Sebab jika tidak, keberlangsungan bisnis pengembang juga bisa terancam apalagi dengan harga tanah yang sudah semakin mahal. "Pengembang perlu ada kenaikan margin agar mereka bisa mencari lahan baru untuk mereka kembangkan ke depannya," jelasnya. REI menilai, dengan kenaikan sesuai usulan mereka tersebut tidak akan mengganggu minat masyarakat untuk membeli rumah. Sebab di sisi lain, upah minimum regional (UMR) juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Selain itu, REI juga mengusulkan ada penambahan zonasi untuk daerah-daerah tertentu dan penyatuan zonasi untuk dua atau lebih wilayah yang berbatasan tetapi memiliki perkembangan infrastruktur yang sama. "Untuk wilayah Padang dan Mentawai itu tidak bisa menggunakan satu zonasi. Sebab biaya membangun rumah di Mentawai lebih mahal karena angkutan material ke pulau itu tidak bisa dilakukan setiap hari. Sementara di wilayah Maja yang terbagi ke dalam tiga wilayah Bogor, Tangerang, dan Banten disatukan saja karena infrastrukturnya sama saja." tambah Soelaeman. Asmat Amin, Managing Director SPS Group mendukung usulan dari REI tersebut. Menurutnya, usulan tersebut sudah tepat karena lahan yang semakin terbatas membuat biaya lahan semakin mahal. Sementara di sisi lain, biaya kontruksi juga mulai mengalami kenaikan seperti baja. "Kenaikan sebesar itu saya rasa tidak akan mengganggu daya beli masyarakat. Di Karawang saja UMR sudah Rp 4 jutaan dan kemampuan mencicil bisa sepertiga dari itu. Biaya yang ditanggung pengembang juga bukan hanya biaya konstruksi dan lahan, tetapi juga harus mengeluarkan biaya untuk infrastruktur penyaluran air, jalan dan lain-lain. Sehingga kenaikan itu sangat penting," jelas Asmat kepada Kontan.co.id, Senin (1/10) Asmat menambahkan, permasalahan yang ada di rumah subsidi saat ini adalah kekurangan suplai. Kekurangan hunian (
backlog) saat ini mencapai 11 juta dan ditambah pertumbuhan kebutuhan rumah 800.000 setiap tahun. Sehingga setiap tahun harus dibangun 3 juta rumah untuk mengatasi
backlog tersebut dalam lima tahun. Oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan dari sisi pengembang juga agar semakin banyak yang mau membangun rumah murah. Selain itu, lanjutnya, perlu dibuat segmen baru untuk rumah murah subsidi yakni dikisaran harga Rp 165 juta -Rp 300 juta. Pasar untuk segmen harga tersebut sangat besar. " Jika segmen tersebut dibuat maka jumlah supplai akan terus bertambah karena akan semakin banyak pengembang mau bangun rumah murah." kata Asmat.
PT Ristia Bintang Mahkotasejati Tbk (RBMS) juga mendukung usulan yang dilakukan REI. Menurut Direktur Utama RBMS, Richard Wiriahardja mengatakan kenaikan harga rumah subsidi tahun depan memang harus lebih tinggi karena tidak akan terjadi inflasi tetapi harga bahan dasar konstruksi bangunan sudah mengalami kenaikan karena penguatan dollar dan kenaikan biaya transportasi. "Seharusnya kenaikan harga minimal 10%. Terkait kemampuan beli masyarakat, saya rasa tidak akan terganggu karena setiap tahun juga selalu ada penyesuaian UMR," kata Richard. Sekretaris Ditjen Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Dadang Rukmana mengatakan, penyesuaian harga rumah subsidi saat ini masih di bahas di kementerian. "Dalam menetapkan harga, akan tetap melibatkan lembaga riset, pelaku usaha, tenaga ahli analisis keuangan dan tenaga ahli kebijakan publik, dan lain-lain," kata Dadang. Dalam menetapkan harga tersebut, Kementerian PUPR akan memperhitungkan bebebapa komponen yakni baiay lahan dan PSU lingkungan, biaya prodiksi rumah, biaya perizinan, overhead, zonasi wilayah, dan inflasi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat