Pengembang: Jadebotabek bukan untuk orang miskin



JAKARTA. Kawasan Jadebotabek (Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi) hanya untuk orang kaya, bukan untuk orang miskin. Kenyataan ini bukan isapan jempol belaka, lantaran harga rumah semakin meroket dan tidak bisa diakses kalangan masyarakat berpendapatan rendah (MBR), serta sulitnya pengembang membangun rumah murah. Demikian pernyataan Ketua DPD APERSI DKI Jakarta, Ari Tri Priyono, terkait pembangunan rumah murah di Jadebotabek, Senin (18/8) seperti dikutip dari Kompas.com. "Sekarang kami tidak bisa memproduksi rumah murah lagi, karena berbagai kendala. Kendala utama adalah harga lahan yang semakin tinggi. Sekarang sangat sulit untuk mendapatkan lahan seharga Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per meter persegi. Dengan harga sebesar itu, kami masih bisa menjual rumah senilai Rp 200 jutaan untuk tipe 36. Itu dulu. Kini tidak bisa lagi," urai Ari.  Kondisi sekarang, kata Ari, sudah berbeda jauh. Harga lahan termurah saja sudah mencapai Rp 200.000 hingga Rp 300.000 per meter persegi. Itu pun di pinggiran atau jauh dari pusat kota, macam Kalisuren, Kabupaten Bogor. Dengan asumsi harga konstruksi mencapai Rp 4 juta per meter persegi, maka harga produksi rumah tipe 36/72 akan senilai Rp 162 juta. "Jika ditambah perizinan, promosi, sertifikat, dan lain-lain, serta margin keuntungan, maka harga jual akan menjadi sekitar Rp 300 juta hingga Rp 450 juta per unit. Jadi sangat sulit untuk membangun rumah terjangkau, apalagi rumah subsidi," tandas Ari. Kendala kedua adalah regulasi yang tak sama di setiap kawasan dalam Jadebotabek. Di Depok contohnya, pengembang dilarang membangun rumah dengan luas kavling di bawah 120 meter persegi. Sementara harga lahan di Depok sudah mencapai sekitar Rp 500.000 per meter persegi. Dengan demikian, ongkos produksi rumah tipe 36/120 akan menembus angka Rp 204 juta. "Ongkos produksi saja sudah segitu, maka kami harus menjualnya tentu lebih tinggi lagi yakni sekitar Rp 500 juta-Rp 600 juta. Nah, pertanyaannya siapa yang mampu membeli rumah dengan harga setinggi itu?," imbuh Ari. Kendala ketiga adalah perizinan. Masalah perizinan dengan biaya tinggi masih menjadi kendala yang menghambat kelancaran peembangunan rumah murah. "Bukannya makin efisien malah makin kontraproduktif. Selain lama juga biaya tinggi. Bagi kami pengembang kecil, sangat menghambat produksi rumah," tandas Ari. Kendala terakhir adalah regulasi dan kebijakan yang diedarkan Bank Indonesia (BI) terkait pengetatan kredit. BI secara resmi memberlakukan aturan mengenai loan to value (LTV) untuk KPR. Aturan tersebut tercantum dalam Surat Edaran (SE) BI No 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 tentang penerapan manajemen risiko pada bank yang melakukan pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor. "Regulasi baru ini tidak populis dan mengganggu pasar menjadi tidak kondusif. Bahkan, aturan tersebut akan menyulitkan konsumen properti pada masa depan. LTV ini yang membuat omset kita anjlok. Kita harus menyiasati untuk membantu masyarakat beli rumah dengan sejumlah kreativitas, agar produk-produk kita terserap pasar," tambah Ari. (Hilda B Alexander)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan