Pengembang masih kerap hadapi kendala pembebasan tanah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam bisnis properti, masalah pembebasan tanah kerap menjadi salah satu soal yang paling krusial. Banyak faktor yang membuat pembebasan tanah menjadi rumit bagi para pengembang.

Eddy Ganefo, Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menyampaikan bahwa saat ini status tanah menjadi persoalan mendasar. Pasalnya, tidak serta merta dengan adanya sertifikat tanah maka pengembang akan bebas dari konflik.

Apalagi di Indonesia status tanah masih ada yang tumpang tindih dengan tanah adat. Belum lagi permasalah tanah waris, kendati sudah berbentuk sertifikat, nyatanya tanah waris kerap menimbulkan masalah-masalah bagi pengembang.


Lain dari itu untuk memudahkan pembebasan tanah tak jarang pengembang mengandalkan pihak lain. Hal ini yang justru membuat harga tanah naik tidak wajar. Padahal wajarnya peningkatan hanya 2,5% saja.

"Macam-macam cara pembebasan lahan tergantung daerah masing-masing, ada yang pakai centeng dan lainnya, ini membuat harga tanah tinggi. Itu sudah pasti ada permainan, karena perantara kan biasanya paling 2,5% kalau ini bisa 10% lebih naiknya," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (15/3).

Terkait pembebasan tanah, PT Jasa Marga Tbk (JSMR) juga bergerak cepat untuk mengamankan aset tanah miliknya agar tak terkendala persoalan tanah. Saat ini perusahaan memiliki 50-100 hektare tanah yang tersebar di Bogor, Sidoarjo dan Surabaya.

Melalui anak usaha PT Jasamarga Properti, JSMR ingin memacu bisnis sampingan tersebut. Namun perusahaan cepat-cepat menggandeng Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) sehingga aset-aset lahan yang saat ini dipunyai maupun ke depan yang akan dibeli bisa bebas dari persoalan.

"Karena main properti itu nomer satu, tanahnya harus clear and clean," ujar Irwan Artigyo Sumadyo, Direktur Utama PT Jasamarga Properti.

Taufik Hidayat, Direktur Utama PT PP Properti Tbk (PPRO) menyampaikan bahwa fokus perusahaan saat ini melakukan penjualan. Ada sekitar 20 site yang tengah dipasarkan perusahaan, sedangkan pada tahun ini pihaknya tidak akan melakukan investasi pembelian tanah.

"Tahun ini buat kami tahun panen, bukan tahun investasi," tambahnya. Sementara itu Arie Yuriwin, Dirjen Pengadaan Tanah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyampaikan bahwa harga tanah dalam sebuah proyek bisa berubah dalam perencanaan dan pembayaran. Karena lamanya masa kajian dan perencanaan sehingga harga yang ditetapkan diawal tidak sesuai.

"Terkadang perencanaan kurang bagus, misalnya rencana 2014, keluar izin 2015, eksekusi di akhir 2016 dan pembayaran di tahun 2017. Nilai ganti rugi pada saat rencana dikeluarkan penetapan lokasi keluar berbeda," ujarnya.

Menurutnya penetapan lokasi untuk infrastruktur berbeda dengan properti, kalau properti memakai izin lokasi dan proyek infrastruktur menggunakan izin penetapan lokasi. Sehingga dalam konsep B to B melebihi harga pasar. Asal tahu saja, lahan dari 13 BUMN yang didata ada 3,42 juta meter persegi yang bermasalah.

Dari jumlah tersebut memiliki total nilai aset Rp 149,29 triliun. Potensial rugi yang terjadi setiap tahunnya mencapai Rp 3,46 triliun. Aset bermasalah itu termasuk pencatatan ganda sesama BUMN, pencatatan ganda dengan pemerintah, sertifikasi terhambat, belum memiliki sertifikasi, dikuasai pihak ketiga, litigasi dan lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sofyan Hidayat