Pengembang Meminta Bank Konvensional Diizinkan Kembali Beroperasi di Aceh



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha properti berharap perbankan konvensional diperkenankan kembali beroperasi di Provinsi Aceh. Perbankan syariah dinilai belum secara optimal mendukung pembiayaan bisnis pembangunan perumahan bersubsidi khusus masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Tanah Rencong. 

Ketua Dewan Pengurus Daerah Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPD REI) Aceh, Zulkifli HM Juned mengatakan, nasib pengembang di Aceh tidak seberuntung pelaku usaha di daerah lain karena  bank pelaksana KPR hanya bisa dilakukan oleh bank syariah.

“Jumlah bank pelaksana yang melayani skema pembiayaan untuk pengembangan rumah bersubsidi di Aceh sangat terbatas hanya bank syariah," ujar, Zulkifli  dalam keterangan resminya, Senin (22/7).


Dengan tidak adanya bank non syariah membuat developer di Aceh terkendala dalam memperoleh pembiayaan untuk pengembangan hunian bersubsidi. Tidak hanya itu, kata Zulkifli, masyarakat di Aceh juga kesulitan dalam mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi.

Baca Juga: Transaksi Digital Banking BSI Naik 45,02% per Juni 2024

Menurut Zulkifli, pengembang tidak kehilangan akal menyiasati keterbatasan daya dukung lembaga perbankan. Pengembang anggota REI Aceh terpaksa mulai mengalihkan pengajuan pembiayaan kredit modal kerja ke bank konvensional ke Provinsi Sumatera Utara. 

"Saat ini dari 150 perusahaan anggota REI Aceh, ada puluhan developer yang sudah mengurus pembiayaan kredit modal kerja dari bank konvensional yang beroperasi di Medan. Hal ini karena perbankan syariah di Aceh belum bisa melayani pendanaan kredit usaha yang diajukan developer," ungkapnya. 

Sementara itu, bank syariah di Aceh yang melayani kredit untuk properti hanya ada tiga, yakni Bank BTN Syariah, Bank Syariah Indonesia (BSI), serta Bank Aceh Syariah. Ketiga bank ini juga sangat selektif memberikan pembiayaan, sehingga banyak developer susah dapat dukungan pembiayaan.

Zulkifli meminta eksekutif maupun legislatif Aceh melakukan evaluasi aturan agar bank konvensional bisa beroperasi kembali di Aceh. Namun, sebelum hal itu terjadi, sebagai solusi jangka pendeknya, Ketua DPD REI Aceh itu berharap agar bank syariah yang beroperasi di Aceh bisa lebih mengoptimalisasi pelayanannya. “Terutama optimalisasi dalam kualitas maupun kuantitas pembiayaan bagi pelaku usaha properti serta dukungan penyaluran KPR khusus MBR,” pungkasnya. 

Pengamat ekonomi Aceh Rustam Effendi menjelaskan bahwa bank konvensional hengkang dari Aceh seiring terbitnya Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Qanun LKS lahir dari penjabaran Pasal 21 ayat 1 Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariah Islam yang berbunyi bahwa Lembaga Keuangan yang akan beroperasi di Aceh harus berdasarkan prinsip syariah.

Baca Juga: Peta Persaingan Perbankan Syariah, Tiga Bank Ini Kuasai Pangsa Pasar di Indonesia

 "Namun, Pasal 21 ayat 2 Qanun 8/2014 menyebutkan bahwa Lembaga Keuangan konvensional yang sudah beroperasi di Aceh harus membuka Unit Usaha Syariah(UUS). Artinya, penerapan Qanun 11/2018 tidak serta-merta mengusir bank konvensional dari Aceh," kata Rustam. 

Rustam mengungkapkan, akibat hengkangnya bank konvensional, jumlah kantor cabang perbankan yang beroperasi di Aceh berkurang drastis dari 76 kantor cabang kini tersisa 52 cabang. Akibatnya, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran terbuka di Aceh semakin meningkat sehingga menimbulkan efek domino yang luar biasa besar.

Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala itu, kondisi tersebut seharusnya menjadi pertimbangan Pemerintah Aceh agar tidak menimbulkan kegaduhan ekonomi yang lebih mendalam.

Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Daerah (BPOD) REI Aceh, Muhammad Nofal menyebutkan,  hengkangnya bank konvensional dari Aceh berdampak terhadap anjloknya seluruh sektor usaha di provinsi itu yang bermuara pada tingginya angka pengangguran di daerah. 

Baca Juga: Menanti Wajah 2 Bank Syariah Baru yang Akan Muncul Tahun Depan

“Ditutupnya bank konvensional membawa dampak serius terhadap dunia usaha di Aceh. Para tokoh masyarakat Aceh dimohon realistis menyikapi maraknya penyakit sosial akibat hilangnya kesempatan kerja untuk putra-putri Aceh. Siapa bisa menjamin masa depan anak-anak Aceh karena redupnya aktivitas perekonomian di daerah,” tegas Nofal.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh pada 6 Mei 2024 merilis ekonomi Aceh triwulan I-2024 tumbuh 4,82% secara tahunan. Namun, secara kuartalan, mengalami kontrkasi sebesar 6,44%. Kontraksi terdalam terjadi pada lapangan usaha jasa konstruksi sebesar 19,61%. 

Kontribusi Aceh terhadap perekonomian Sumatera sepanjang triwulan I-2024 sebesar 4,98%, di urutan ke-8 dari 10 provinsi di pulau tersebut. Mengutip statistik Bank Indonesia (BI), seluruh provinsi di Sumatera mengalami pertumbuhan ekonomi, kecuali Aceh yang tercatat hanya di rentang 4,2%-4,3%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dina Hutauruk