Pengembang swasta ogah garap rumah murah



JAKARTA. Pelaksanaan program pembangunan rumah bagi kelas bawah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2016 lewat label Program Sejuta Rumah rupanya masih belum optimal. Salah satu penghalang utama adalah tipisnya margin para pengembang rumah tersebut.

Menurut Sekretaris Jenderal Real Estat Indonesia (REI), Totok Lusida, margin bruto para pengembang dalam menggarap proyek hunian kelas bawah cuma sekitar 10%. "Margin tersebut masih bruto, belum dipotong bunga dan overhead cost," tambah Totok kepada KONTAN, Kamis (11/5).

Apalagi REI sudah mengerek target penjualan hunian kelas bawah tersebut dari 150.000 unit (tahun lalu) menjadi 200.000 unit. Tapi hingga kuartal I tahun ini, realisasinya baru mencapai 20% alias baru terjual 40.000 unit.


Totok berharap, pemerintah pusat dan daerah bersinergi mendukung program sejuta rumah tersebut. Sebab, menurut hitungan REI jumlah kekurangan pasokan rumah (backlog) saat ini sudah mencapai 11,4 juta unit. Jumlah itu bisa terus membengkak, mengingat tingkat angka kelahiran Indonesia per tahun bisa mencapai 3 juta penduduk per tahun.

Susah mencari lahan

Makanya Totok berharap, selain dari Perum Perumnas, pengembang swasta juga mau menggarap proyek sejenis. "Properti itu create value, dari tanah mentah bisa naik bila ada perumahan," tandasnya.

Beberapa pengembang swasta yang KONTAN hubungi mengaku belum ada hasrat terjun di program sejuta rumah.

Ambil contoh PT Intiland Development Tbk (DILD). Pengembang partikelir ini justru lebih memilih bermitra dengan pengembang yang memang khusus menggarap proyek hunian kelas bawah seperti rumah susun sederhana (rusunami).

Menurut Theresia Rustandi, Sekretaris Perusahaan Intiland, pihaknya sengaja memilih bermitra lantaran ada dua keuntungan. Pertama, masing-masing pihak konsentrasi sesuai keahlian mereka, sehingga tidak saling berkompetisi. Intiland misalnya, di proyek non subsidi dan pengembang lain di proyek subsidi.

Kedua, lewat kerjasama, bisa saling berbagi ilmu proyek properti. "Ada transfer pengetahuan dan teknologi, bahkan juga masuk kemitraan pendanaan," ucap Theresia, ke KONTAN (11/5). Sayang, ia tidak menjelaskan detail jenis proyek yang tengah digarap, termasuk mitra kerja dari pengembang tersebut.

Sedangkan PT Metropolitan Land Tbk (Metland) masih belum menggarap proyek hunian kelas bawah lantaran ketersediaan lahan yang ada belum cocok untuk dibangun proyek tersebut. "Saat ini belum berencana membangun hunian untuk MBR. Belum ada lokasi yang sesuai," tutur Direktur Keuangan Metland Olivia Surodjo kepada KONTAN.

Sejatinya, 5 tahun 10 tahun lalu, pengembang ini pernah menggarap hunian tapak subsidi. Tapi proyek ini tidak berlanjut, lantaran harga tanah semakin mahal.

Begitu pula PT Megapolitan Development Tbk (EMDE), belum ada niat menggarap proyek hunian murah. Menurut Direktur Keuangan Megapolitan Development Fanny Susanto, pihaknya saat ini masih fokus menggarap hunian menengah atas. "Margin net profit hunian middle up sekitar 10% sampai 15%," terang Fanny.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini