Pengembang tolak pajak barang mewah properti



JAKARTA. Pengembang menolak rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 253/PMK.03/2008, membebankan pajak barang mewah pada rumah, apartemen, kondominium, beserta tanah yang dihargai lebih dari Rp 2 miliar.

Ketua DPP Real Estate Indonesia (REI) Eddy Hussy mengatakan, kebijakan tersebut perlu peninjauan ulang dan tidak bisa diterapkan dalam waktu yang dekat karena akan menimbulkan dampak negatif.

Pasalnya, lanjut Eddy, dalam peraturan sebelumnya, hanya properti di atas Rp 10 miliar yang dikenakan pajak barang mewah sebesar 5 persen dari harga jual. "Saya berharap, jangan sampai kebijakan ini diterapkan dalam kondisi sesaat. Dampak ke depannya bakal lebih besar," ujar Eddy di DPP REI, Jakarta Selatan, Selasa (27/1).


Besarnya dampak yang ditimbulkan, menurut Eddy, adalah karena sektor properti merupakan salah satu penggerak utama ekonomi Indonesia. Dengan menerapkan kebijakan tersebut, baik konsumen dan pengembang akan memiliki beban pajak yang bertambah selain Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Hal ini bisa menghambat pembangunan properti.

Senada dengan Eddy, Ketua Kehormatan DPP Real Estate Indonesia, Teguh Satria, menjelaskan bahwa dengan adanya revisi tersebut, otomatis penjualan apartemen seharga Rp 2 miliar yang notabene masuk kategori kelas menengah, akan dipungut wajib pajak barang sangat mewah.

"Saya ambil contoh, kalau apartemen Rp 2 miliar dibagi dengan luas 150 meter saja, harganya menjadi Rp 13 juta per meter persegi," ujar Teguh.

Dia melanjutkan, saat ini, sangat sulit menemukan apartemen dengan harga Rp 13 juta per meter persegi di DKI Jakarta. Menurut Teguh, pasarannya sudah melampaui Rp 20 juta per meter persegi. "Artinya semua yang beli apartemen akan dikenakan barang sangat mewah," jelas Teguh.

Di sisi lain, tambah dia, pemerintah tengah mendorong orang-orang di perkotaan untuk tinggal di hunian vertikal. Sementara, untuk rumah tapak, harganya sudah jauh lebih mahal. Di Bekasi saja, kata Teguh, rumah seharga Rp 2 miliar, tidaklah mewah.

Oleh sebab itu, Teguh berharap pemerintah mau meninjau ulang peraturan tersebut sebelum benar-benar direalisasikan. "Ini perlu kita diskusikan lebih jauh dengan yang punya otoritas, apakah ini sesuai dengan tujuan pemerintah atau malah kontraproduktif," tutur Teguh. (Arimbi Ramadhiani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia