Pengembangan Biofuel Terkendala Bahan Baku dan Harga, Begini Altenatif Solusinya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan biofuel sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan terkendala ketersediaan bahan baku dan harga yang masih kurang optimal. Selama ini harga bahan baku untuk memproduksi biofuel masih tinggi, bahkan lebih dari BBM fosil sehingga masih sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah.

Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Arie Rachmadi, mengungkapkan CPO menjadi jadi salah satu bahan baku terbanyak untuk memproduksi biofuel 50 juta ton CPO per tahun dan lahan seluas 17 juta hektar (ha).

Menurutnya, skema untuk memastikan ketahanan pasokan bahan baku sebenarnya sudah diinisiasi dengan baik melalui pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dana hasil ekspor dimanfaatkan untuk program biodiesel membuat Indonesia sebenarnya tidak mengeluarkan dana untuk pengembangan biofuel. 


Baca Juga: Analis Ini Sebut, Penerapan B40 Indonesia Akan Jadi Bencana Bagi Konsumen Dunia

"Skema BPDPKS itu menarik untuk memastikan harga kompetitif, selain memberikan penetrasi bioenergi," kata Arie.

Masalah feedstock dapat diatasi melalui program food estate di Indonesia Timur. Jika ditelisik program tersebut juga berpotensi bisa menciptakan feedstock baru untuk program biofuel di masa depan.

"Pemerintah ke depan mau membuka food estate. Di Papua itu ada potensi sekitar 12 juta hektar akan hasilkan sekitar 50 juta ton CPO," ungkap Arie.

Direktur Utama Kilang Pertamina Internasional (KPI), Taufik Aditiyawarman mengatakan ada skema bisnis yang diusung KPI berkaca dari pengembangan salah satu lapangan gas hulu migas dimana ada keterlibatan berbagai pihak untuk membangun ekosistem terpadu dari hulu hingga hilir gas. 

Baca Juga: Biodiesel B40: Upaya Indonesia Menuju Kemandirian Energi dan Pengurangan Emisi

"Model bisnis untuk skema pendanaan di proyek Green Refinery Cilacap membuka peluang kerjasama bagi suplier feedstok untuk menjadi bagian joint venture," ungkap Taufik dalam keterangan resmi, Kamis (10/10).

Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Achmudi Achyak menambahkan tantangan terbesar untuk bisa mendorong program biofuel selain pasokan bahan baku adalah harganya yang masih tinggi karena  energi baru terbarukan masih dianggap energi mahal karena penggunaannya tidak sebanyak energi fosil. 

"Harus ada kemauan baik dari pemerintah caranya dengan memberikan insentif untuk memastikan ketersediaan feedstock. Feed in tarif harus dikeluarkan," ungkap Ali. 

Terkait wacana penerapan berbagai fasilitas program penurunan emisi karbon seperti carbon trading, carbon tax maupun carbon insentif, Ali menilai itu sangat baik namun pemerintah lagi-lagi harus serius dalam penerapannya. Regulasi harus disiapkan dan disosialisasikan sampai ke daerah baru bisa bergerak.

"Selama ini kita bicara carbon trading, carbon tax carbon insentif, tapi apakah sampai ke daerah? Kalau itu diterapkan pasti akan lebih baik," ujar Ali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih