Pengembangan Energi Baru Terbarukan di Dalam Negeri Sulit Terwujud, Ini Sebabnya



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Founder & Advisor ReforMiner Institute (Research Institute for Mining and Energy Economics), Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, transisi energi semestinya dijadikan momentum untuk dapat menjadikan pengelolaan energi nasional secara lebih mandiri. 

Namun, setelah mencermati arah kebijakan pengelolaan energi nasional dalam menjalankan transisi energi serta mendorong pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), tampaknya target-target yang dibidik akan sulit terwujud.  

Pri menyoroti, Pemerintah Indonesia cenderung mengambil posisi minim di dalam melakukan investasi dan intervensi secara langsung. Di saat yang sama, pemerintah juga terlalu mengandalkan inisiasi dari pelaku usaha/investor dan atau pihak lain yang memiliki dana. 


Baca Juga: Pelaku Usaha Panas Bumi Sambut Positif Rencana Pemerintah Revisi Target Bauran EBT

“Komposisi anggaran pemerintah, dalam hal ini salah satunya anggaran di Kementerian ESDM mencerminkan hal itu,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (13/2). 

Sebagai gambaran, di 2024 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 6,80 triliun di mana sebagian anggaran digunakan untuk pembangunan infrastruktur bagi masyarakat.

Porsi anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan Sumber Daya Alam (SDA) terbilang kecil yakni Rp 2,33 triliun atau 34,45% total anggaran. Dari jumlah itu, porsi untuk mendorong pengembangan EBT secara langsung pun dapat dikatakan sangat minim, perinciannya PLTS Rp 99,54 miliar (4,27%), PLTMH Rp 54,46 miliar (2,46%), dan perencanaan Rp 31,98 miliar.

Di tahun ini, anggaran tersebut paling besar dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur gas yakni pipa gas bumi CISEM Tahap II Batang-Cirebon-KHT Rp 973,70 miliar atau 41,74% dari total anggaran. 

“Dengan model komposisi anggaran yang semacam itu, wajar jika kemudian target bauran EBET 23% pada tahun 2025 kemungkinan besar tidak akan tercapai,” ujarnya. 

Jika pun target bauran EBT akan direvisi menjadi 17% – 19%, Pri menyatakan, tidak ada jaminan bahwa angka itu dapat dicapai. 

Pasalnya, pelaksanaan pengembangan EBT ini secara langsung berada di dalam kendali pemerintah sendiri – melalui porsi anggaran dan investasi/intervensi langsung yang relatif kecil. 

Pencapaian angka target bauran EBT akan lebih ditentukan pada bekerja atau tidaknya mekanisme pasar, dalam hal ini adalah ada atau tidaknya investasi yang direalisasikan oleh para pelaku usaha.

Baca Juga: Pasar PLTS Tahun Ini Masih Stagnan, Produsen Panel Surya Pilih Ekspor

Di sisi lain, pendanaan transisi energi yang mengandalkan pinjaman konsesi, dinilai Pri akan membatasi gerak Indonesia mengoptimalkan sumber daya energi sesuai dengan kebutuhan nasional atau berdasarkan potensi sumber energi yang dimiliki. 

Seperti diketahui, salah satu katalis transisi energi yang diharapkan ialah skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang akan memobilisasi dana US$ 21 miliar atau lebih dari Rp 300 triliun. 

“Berdasarkan informasi yang dihimpun, sebagian besar pendanaan JETP akan dilakukan melalui mekanisme pinjaman konsesi. Dalam skema ini persyaratan dan ketentuan penggunaan mengacu pada objektif pemberi pinjaman atau dari mana dana tersebut tersedia,” ujarnya. 

Pri menegaskan, sebetulnya pemerintah telah memiliki prinsip pengelolaan kebijakan nasional yang bagus, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. 

Hanya saja dalam pelaksanaannya perlu konsisten dan tidak mengikuti tren atau tema yang mengemuka seiring kepentingan dan waktu saja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .