KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor energi nasional kini menghadapi dua tantangan utama sekaligus, yaitu: peningkatan produksi guna memastikan ketahanan energi dan mengurangi beban impor, serta pencapaian target
nett zero emission. Hal di atas disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengungkapkan, upaya menjaga ketahanan energi pada masa transisi seperti saat ini, menjadi hal yang patut diperhatikan oleh seluruh pemangku kepentingan, mengingat masih belum optimalnya pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia. Oleh karena itu, gas bumi sebagai sumber energi berbasis fosil yang lebih bersih daripada batubara dan minyak bumi, diharapkan dapat menjadi andalan dalam mendukung transisi energi yang ada.
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi gas bumi yang sangat besar sehingga diyakini dapat mendukung proses transisi energi dengan tetap memenuhi kebutuhan energi nasional.
Baca Juga: Pelaku Usaha Keluhkan Tersendatnya Izin Amdal, Begini Kata Kementerian LHK "Namun, ada banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi terlebih dahulu agar potensi gas bumi yang ada tersebut dapat diproduksi dan dimanfaatkan secara maksimal," kata Marjolijn di sela-sela acara Media Briefing IPA Convex 2020, bertajuk “Gas Bumi sebagai Jembatan Menuju Transisi Energi”, di Jakarta, Selasa (23/8). Menurut Marjolijn, para pengambil kebijakan sebaiknya tetap berusaha memastikan agar kebijakan yang dibuat dapat meningkatkan keyakinan investor untuk terus berinvestasi dalam proyek-proyek gas yang ada, terutama dalam hal keekonomian. Selain itu, keberlanjutan proyek gas bumi juga perlu diperhatikan agar ketersediaan gas bumi yang menjadi sumber energi tidak terputus. Sementara itu, Wakil Ketua Forum Pengguna Gas Bumi Indonesia (FPGBI) Achmad Widjaja mengatakan, gas bumi adalah bahan baku yang sangat penting untuk menggerakan industri. Namun, saat ini porsi gas bumi sebagian besar masih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekspor daripada industri dalam negeri. Alhasil, kebutuhan domestik gas bumi untuk industri nasional pun belum optimal terpenuhi. Terkait harga, Achmad menilai kebijakan harga gas bumi tertentu yang sudah dibuat oleh Pemerintah hingga saat ini belum memberikan dampak yang signifikan. “Kebijakan ini dirasa belum terlihat memberikan dampak pada tujuh jenis industri yang dimaksud. Belum ada inovasi, peningkatan daya saing, dan penciptaan multiplier effect seperti yang diharapkan, sesuai Kepmen 134/2021,” ujar Achmad. Ditambahkan Achmad, peran gas bumi seyogyanya tak tergantikan karena selain sebagai bahan baku atau komoditi, gas bumi juga merupakan sumber energi yang paling efisien. “Itu sebabnya, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus tidak hanya kepada industri hilir, melainkan juga kepada industri hulu yang menjadi produsen gas bumi,” harapnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, yang hadir pada kesempatan tersebut juga mengatakan, pemanfaatan gas bumi sebagai jembatan menuju transisi energi nasional bersifat sangat strategis. Hal ini merujuk pada beberapa tahun terakhir dimana penemuan cadangan migas nasional didominasi oleh gas bumi. Selain soal potensi tersebut, menurut dia, kebijakan yang diambil pemerintah untuk industri hulu harus dilihat secara lebih luas.
Baca Juga: Harga BBM Tidak Naik, Sri Mulyani: Anggaran Subsidi Bengkak Hingga Rp 700 Triliun “Perlu diingat bahwa sektor hulu migas memiliki
multiplier effect yang besar, sehingga nilai tambah yang ditimbulkan pun cukup besar dan signifikan bagi perekonomian nasional,” ungkapnya. Sayangnya, menurut Komaidi, kebijakan di sektor ketenagalistrikan saat ini justru mengalami pergeseran dari pemanfaatan gas bumi sebagai sumber energi. “Dalam
roadmap transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang terbaru, pemerintah cenderung lebih mengutamakan pemanfaatan EBT daripada gas bumi,” jelas dia. Padahal, dari aspek regulasi, menurut Komaidi, pemerintah telah mendorong pemanfaatan gas bumi untuk pembangkit listrik dengan menetapkan kebijakan harga gas bumi tertentu. Untuk itu, dia mendorong pemerintah bersama pelaku industri hulu dan pelaku industri hilir untuk duduk bersama guna menentukan kebijakan yang tepat bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor energi nasional.
Untuk diketahui, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, bauran energi utama yang ditetapkan adalah, pertama, energi baru terbarukan setidaknya sebesar 23% di tahun 2025 dan setidaknya sebesar 31% di tahun 2050. Kedua, minyak harus lebih kecil dari 25% di tahun 2025 dan lebih kecil dari 20% di tahun 2050. Ketiga, batubara paling sedikit 30% di tahun 2025 dan paling sedikit 25% di tahun 2050. Keempat, gas setidaknya paling sedikit 22% di tahun 2025 dan paling sedikit 24% di tahun 2050 Dari target tersebut di atas, gas bumi menjadi sumber energi yang justru ditingkatkan target ketersediaannya dalam mendukung transisi energi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi