KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman dalam Omnibus Law Cipta Kerja, menjadi jawaban atas pengembang hunian berimbang. Dengan aturan ini, pebisnis properti bisa lebih dinamis lantaran, pengembangan hunian berimbang tidak dilakukan dalam satu hamparan atau daerah kabupaten/kota Dalam RUU Cipta Kerja, perubahan atas UU Perumahan dan Pemukinan tidak terlalu signifikan. Dari 167 Pasal dalam UU itu, hanya 15 Pasal yang mengalami perubahan.
Adapun perubahan langsung tertuju kepada topik yang sedang hangat diperbincakan dikalangan pebisnis properti. Yakni di Pasal 36, yang berbunyi: Pertama, dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak dalam satu hamparan sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (2). Adapun Pasal 34 ayat 2 itu berbunyi; Pembangunan perumahan skala besar yang dilakukan oleh badan hukum wajib mewujudkan hunian berimbang dalam satu hamparan. Nah, dengan adanya perubahan Pasal 36 itu, artinya kewajiban membangun hunian berimbang dalam satu hamparan gugur. Baca Juga: Omnibus Law RUU Cipta Kerja dinilai langgar HAM, ini penyebabnya Menanggapi itu, Pakar Property dari Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda menilai, bahwa isu penting yang menjadi sorotan oleh pebisnis properti memang terdapat di Pasal 36 itu. Ia bilang, pasal prubahan itu menjadi jawaban yang tepat. Sebab, dengan aturan saat ini, banyak pengembang yang ogah melaksanakan pembangunan hunian berimbang, lantaran merasa keberatan apabila harus dibangun dalam satu Kota/Kabupaten. Dengan adanya Omnibus law, hunian berimbang bisa di konversi menjadi rumah susun umum. Namun, ia juga berharap lokasi rumah susun umum ini harusnya dapat ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bersasarkan data backlog per wilayahnya.