Pengembangan pariwisata terkendala infrastruktur



Jakarta. Kalau Singapura punya “Your Singapore”, Malaysia punya “Malaysia Truly Asia” dan  Thailand punya “Amazing Thailand” misalnya, maka Indonesia punya “Wonderful Indonesia”. Meski sudah diperkenalkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sejak Januari 2011, bisa jadi ada dari kita yang belum pernah mendengar slogan tersebut. Jargon itu menggantikan slogan terdahulu, yakni “Visit Indonesia.”Tak cuma mengubah slogan, Kemenparekraf juga membikin Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) pada tahun yang sama. Pembentukan tersebut bertujuan memaksimalkan promosi wisata di Tanah Air.Tahun ini Kemenparekraf fokus mempromosikan 16 destinasi wisata. Antara lain Gunung Kelimutu di Flores Nusa Tenggara Timur (NTT), Pulau Komodo di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Raja Ampat di Papua.Sementara tujuh produk wisata andalan yang dipromosikan meliputi kebudayaan dan peninggalan sejarah, wisata alam serta olahraga rekreasi. Ada pula pelayaran, kuliner dan belanja serta kesehatan. Tak terkecuali wisata MICE yang merupakan singkatan dari meeting, incentive, convention, and exhibition.Kalau Anda sudah pernah mengunjungi tempat-tempat di luar tempat wisata mainstream di Indonesia seperti yang sebagian besar masuk dalam daftar prirotas Kemenparekraf tersebut, Anda pasti tak akan menyangkal jika banyak destinasi elok di bumi nusantara ini. tempat wisata mainstream ini merujuk pada lokasi-lokasi yang memang sudah dikenal sebagai daerah wisata. Ambil contoh; Bali dan tempat-tempat wisata di Jawa.Namun memiliki koleksi destinasi wisata nan elok saja tidak cukup untuk menggaet para turis. Sebab keelokan aneka destinasi wisata masih memuat kendala besar yakni infrastruktur dan akomodasi. “Menurut saya, tempat wisata di Indonesia jelas lebih baik daripada di Singapura dan Malaysia. Tapi saya harus bilang kalau kualitas akomodasi dan infrastruktur Indonesia lebih rendah,” ujar Clemens Scherrer, wisatawan asal Swiss.Wisatawan domestik juga menuturkan keluhan senada. Annastasia Puspaningtyas bercerita kerap kesulitan mencari akomodasi berupa tempat menginap di luar tempat wisata utama. Alhasil, mau tak mau, dia harus mencari tumpangan di rumah-rumah milik penduduk.Kendala lain, perempuan yang akrab disapa Anna tersebut juga kerap kesusahan menjangkau sebuah tempat wisata karena keterbatasan transportasi. Kendala-kendala tersebut tak pernah dia temui kala pernah melancong selama lima bulan keliling Eropa hingga ke kota-kota kecil.Investasi di TimurSedang Muhammad Syarifullah berbagi cerita soal jalan rusak hingga moda transportasi yang berjumlah minim di beberapa destinasi wisata yang pernah dia kunjungi. Bahkan, kendala ini juga masih dia alami di Jawa. Pria yang bekerja di perusahaan public relation ini menuturkan pengalaman melewati jalan yang mayoritas rusak ketika akan mengunjungi tempat wisata Ujung Genteng di Sukabumi, Jawa Barat.Bagi pelaku bisnis, kendala infrastruktur menghambat minat mereka untuk mengembangkan daerah wisata di luar wisata mainstream. Padahal ketika bicara soal industri pariwisata, ada banyak komponen bisnis di dalamnya. Antara lain bisnis hotel, restoran dan penyedia jasa transportasi. Ada pula bisnis agen perjalanan, industri kecil menengah (IKM) yang banyak memproduksi aneka cindera mata hingga bisnis pertunjukan tradisional.Direktur Eksekutif Persatuan Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Cyprianus Aoer, mengakui saban tahun jumlah hotel dan restoran memang mengalami pertumbuhan jumlah berkisar 5%-7%. Hingga tahun depan, PHRI mempekirakan akan ada penambahan 50.000 kamar hotel. Namun dia mengakui mayoritas hotel masih terpusat di Bali, Jakarta, Bandung, dan Makassar.Alhasil penyebaran hotel dan restoran di Indonesia tak merata. Ini terjadi lantaran ketimpangan infrastruktur yang belum semua tergarap maksimal. “Ini menjadi kendala bagi hotel atau restoran untuk membuka cabang,” kata Cyprianus.Vivi Herlambang, Manajer Komunikasi PT Grahawita Santika (Grup Santika) mengamini pendapat tersebut. Selain potensi pasar (baik berupa potensi wisata ataupun potensi bisnis) di suatu daerah serta kompetitor, Grup Santika mempertimbangkan load factor dan infrastruktur dalam berinvestasi.Load factor ini misalnya berupa moda transportasi yang menjangkau daerah tersebut dan berapa kali transportasi tersebut beroperasi dalam sehari. Sementara infrastruktur tak hanya bicara soal ketersediaan jalan yang nyaman tetapi juga sokongan aliran listrik.Dua hal tersebut masih menjadi kendala yang dihadapi jika grup hotel ini akan membuka cabang di wilayah Indonesia Timur. Sebab dari hitung-hitungan bisnis menuntut konsekuensi berupa biaya operasional yang lebih besar.Tak heran jika Grup Santika baru punya satu hotel di Indonesia Timur, yakni di Ambon, Maluku, melalui Hotel Amaris. Sisanya sebanyak 55 hotel paling banyak tersebar di wilayah Indonesia Barat dan disusul di Indonesia Tengah.Meski begitu Vivi tak menyangkal potensi bisnis di Indonesia Timur sangat menggiurkan. Salah satunya di Raja Ampat, Papua. “Banyak pula investor yang menawarkan kerjasama untuk membangun hotel tetapi kami masih harus survei lebih dalam lagi,” kata dia.Tak cuma pengusaha perhotelan yang mencium daya tarik bisnis di Timur. Maskapai penerbangan pun bilang begitu. Namun lagi-lagi ketersediaan infrastruktur juga berefek bagi bisnis penerbangan.Public Relations Manager Tigerair Mandala, Lucas Suryanata, mengakui jika fenomena harga tiket murah atawa low cost carier yang menjadi tren di industri penerbangan masa kini, hampir mustahil untuk diterapkan pada rute-rute perjalanan ke Indonesia Timur.Dalam hitung-hitungan bisnis yang sederhana, selain harga bahan bakar berupa avtur, harga jual tiket juga dipengaruhi oleh panjang rute, musim atau momen dan berapa banyak frekuensi penerbangan. Dari sisi frekuensi, semakin banyak frekuensi penerbangan maka semakin terbuka jalan bagi maskapai untuk memberikan harga ekonomis. Sebab, toh, ada kalanya sang maskapai penerbangan membebankan harga tiket normal atau malah harga tiket lebih mahal tatkala musim ramai atau peak season misalnya.Fleksibilitas untuk menentukan harga tersebut sulit dilakukan di Indonesia Timur karena frekuensi penerbangan ke sana tak banyak. Alhasil, harga tiket ke kawasan timur Indonesia dari Jakarta lebih mahal daripada ke Singapura.Mencoba menjawab kendala infrastruktur tersebut, Emirsyah Satar, Direktur Utama Garuda Indonesia, bilang, maskapai akan mengoperasikan armada pesawat bermesin turbo prop atau menggunakan balingbaling. Ini pesawat kecil dengan jumlah penumpang maksimal 70 orang saja. “Pesawat turbo prop bisa mendarat di landasan pendek jadi kami juga tak perlu mengeluarkan investasi besar untuk membangun infrastrukturnya,” ujar Emirsyah.Daerah-daerah tujuan wisata menarik di Indonesia Tengah dan Indonesia Timur pun menjadi incaran Garuda Indonesia seperti Pulau Komodo di NTB, Labuhan Bajo di NTT, Ambon dan Raja Ampat. Sebagai langkah awal, per Desember mendatang maskapai ini akan membuka rute penerbangan dengan pesawat turbo prop dari Bali ke Pulau Komodo.Promosi sendiriSelain kendala infrastruktur, baik para pelancong maupun pelaku bisnis mengaku wisata Indonesia terkendala dari sisi sistem informasi. Khusus bagi sektor perhotelan, ada kendala tambahan berupa kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas.Lantaran minim informasi ini, para pelaku bisnis lantas melakukan promosi secara mandiri karena tak ada atau tak sering mendapat tawaran kerjasama promosi baik dari Kemenparekraf atau dari pemerintah daerah. Tigerair Mandala memilih mempromosikan Surabaya, Medan, Bunaken, dan Bromo. Sasaran promosi adalah para wisatawan di Singapura, Hong Kong, dan China, sesuai dengan rute perjalanan maskapai ini.Sementara Grup Santika yang mengaku kerap ikut travel mart atau ajang promosi tempat wisata yang diselenggarakan di luar negeri, memilih menjual keindahan Medan, Yogyakarta dan Semarang. Turis yang mereka sasar adalah wisatawan Eropa, Jepang, dan Australia. “Karena memiliki kedekatan sejarah, biasanya turis dari Belanda senang melihat bangunan-bangunan kuno di Semarang,” ujar Vivi.Grup Santika cuma bisa mematok target hunian sama dengan tahun lalu yakni 75%. Namun Vivi berkilah ini lebih karena kue bisnis yang terbagi ke jumlah hotel yang makin banyak saban tahun.Sementara Tigerair Mandala optimistis menjaring 2,1 juta penumpang hingga akhir 2013. Alias meningkat 425% dibanding 2012. Eits, tapi lonjakan ini lebih disebabkan karena penambahan jumlah pesawat dari semula empat menjadi 10 pesawat. Plus jumlah penerbangan yang sampai 52 kali sehari.Potret serupa juga terjadi di bisnis kerajinan. Ambar Tjahyono, Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) emperkirakan omzet dari penjualan kerajinan yang dibeli turis di dalam negeri masih kecil yakni US$ 50 juta saja per tahun. Bandingkan dengan omzet ekspor barang kerajinan ke luar negeri yang sudah mencapai US$ 750 juta per tahun.Pertumbuhan omzet pengrajin kelas IKM ini tak atraktif. Omzet mereka pun terkadang masih harus dicuil berupa komisi kepada pemandu wisata. “Jika pemerintah mau menggalakkan wisata industri dengan mengunjungi pusat-pusat home industry, nasib pengrajin akan jauh lebih baik,” kata Ambar.Selain pembenahan infrastruktur, promosi terintegrasi memang perlu dilakukan berbagai pihak. Supaya slogan Wonderful Indonesia bisa mendatangkan wonderful return bagi negara ini secara umum! ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 7 - XVIII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Imanuel Alexander