KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai sebagai salah satu faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah didesak untuk mempercepat penambahan kapasitas energi hijau yang potensinya masih sangat besar di Indonesia. Pandangan ini disampaikan dalam diskusi bertajuk "Energi Baru & Terbarukan: Pendorong atau Penghambat Pertumbuhan Ekonomi?" yang diselenggarakan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia di Jakarta. Diskusi tersebut menghadirkan pembicara seperti Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal; anggota Strategic and Operation Team Green Business IDSurvey, Risky Aulia Ulfa; serta Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIMPI) sekaligus Tenaga Ahli Menteri ESDM, Anggawira.
Baca Juga: MIND ID Dorong Hilirisasi Pertambangan dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Faisal menyampaikan bahwa pembangkit EBT sangat dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang stabil memerlukan ketersediaan energi yang cukup dan konsisten setiap tahunnya. “Energi fosil yang menopang pembangkit di Indonesia tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan peningkatan pembangkit EBT,” ujarnya seperti dikutip, Jumat (20/120/2024). Berdasarkan analisis konservatif CORE Indonesia, ketersediaan bahan bakar fosil di Indonesia diperkirakan akan habis dalam waktu dekat. Batubara diprediksi hanya tersedia untuk 28 tahun ke depan, sementara minyak bumi dan gas masing-masing hanya dapat bertahan 21 tahun dan 19 tahun. “Jika menggunakan skenario agresif, bahan bakar fosil bahkan akan habis dalam kurang dari 20 tahun. Kondisi ini tidak akan mampu memenuhi kebutuhan energi menuju Indonesia Emas 2045,” tambah Faisal. Menurut Faisal, pengembangan pembangkit EBT menjadi sangat penting agar Indonesia dapat mencapai target menjadi negara maju pada 2045. Namun, ia menilai proses transisi energi di Indonesia masih berjalan lambat. Sejak 2021, bauran EBT hanya mencapai 12%-14%, jauh dari target yang telah ditetapkan. "EBT perlu dipercepat jika kita ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi," tegasnya.
Baca Juga: Luhut Diangkat Jadi Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Ini Tugasnya Sementara itu, Anggawira menekankan pentingnya sinergi antara energi fosil dan energi terbarukan untuk mencapai ketahanan energi. Menurutnya, kedua sumber energi tersebut harus saling melengkapi, bukan saling menggantikan. "Itu saling melengkapi. Tidak mungkin energi fosil atau bahan bakar minyak digantikan 100%. Penggunaan bisa dikurangi, tetapi kebutuhan lainnya tetap ada, seperti untuk industri non-energi," jelas Anggawira. Anggawira juga menyoroti potensi besar panas bumi sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia. Menurutnya, energi panas bumi dapat dijadikan sebagai baseload, berbeda dengan energi angin dan surya yang sifatnya hanya pelengkap. “Untuk mendukung pengembangan energi panas bumi, kebijakan yang jelas sangat dibutuhkan, termasuk dukungan dari PLN. Sayangnya, PLN tidak hadir dalam diskusi ini, padahal perannya sangat strategis,” ujarnya. Lebih lanjut, Anggawira mengusulkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mempercepat pembangunan infrastruktur transmisi listrik.
Baca Juga: Luhut Diangkat Jadi Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Simak Tugasnya Dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan jarak antara sumber daya EBT dengan lokasi industri yang membutuhkan listrik, pembangunan transmisi menjadi sangat penting. Ia juga menyarankan agar pemerintah memanfaatkan keuntungan PT PLN (Persero) untuk mendanai proyek transmisi ini.
Contoh kebijakan serupa adalah pembangunan jaringan gas Cirebon-Semarang (Cisem) yang didanai oleh APBN karena lambatnya inisiatif dari pengusaha. “Hal seperti ini perlu terus dikembangkan agar proses transisi energi dan pemanfaatan energi bersih dapat dioptimalkan,” tutup Anggawira.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli