Pengembangan Wisata Medis Diperlukan Untuk Menahan Pasien ke Luar Negeri



KONTAN.CO.ID - JAKARTA.  Wisata medis domestik harus mulai berbenah untuk bisa menahan pasien lokal berobat ke luar negeri. Setidaknya ada 2 juta warga negara Indonesia yang masih berobat keluar negeri dengan tujuan negara wisata medis favorit seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Amerika, Jerman dan lainnya.

Presiden Joko Widodo sendiri berkomitment untuk tidak akan membiarkan potensi devisa, terutama di wisata medis menguap ke luar negeri yang bisa mencapai Rp 165 triliun saban tahunnya.

Untuk itulah, dr Ediansyah sudah melakukan penelitian yang dirangkum dalam disertasi doktor berjudul “Pengaruh dan Anteseden Kemampuan Berjejaring terhadap Kinerja Rumah Sakit yang Dimoderasi oleh Ekosistem Wisata Medis dan Dinamika Lingkungan Eksternal”. Disertasi tersebut dipaparkan dalam sidang promosi Doctor of Research in Management (DRM) Binus Business School pada Sabtu, 11 Maret 2023 di Kampus Binus, Kemanggisan, Jakarta Barat.


"Makanya saya meneliti, apa yang harus diperbaiki dari sisi rumah sakit supaya kinerja rumah sakit bisa meningkat. Paling tidak bisa menahan masyarakat kita tidak berobat ke luar negeri," ujar Ediansyah, yang juga menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit An-Nisa di Cibodas, Tangerang dalam keterangan, Senin (13/3).

Baca Juga: Mayapada Hospital Resmikan Rumah Sakit Hijau Pertama di Indonesia

Padahal Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan industri wisata medis karena telah memiliki 374 rumah sakit kelas A dan B yang terakreditasi paripurna/internasional, serta memiliki destinasi wisata kelas dunia.

Dalam penelitiannya ada tiga alasan yang membuat pasien lokal condong berobat ke luar negeri.

Pertama, komunikasi. Tenaga medis termasuk dokter lokal kurang komunikatif. Kedua, waktu konsultasinya itu pendek dan tidak menjelaskan hal medis secara  panjang. Ketiga, kurang didukung oleh teknologi informasi. Sementara di Malaysia dan Singapura, ternyata peralatan medisnya dianggap lebih lengkap dan modern. Malah ekosistem wisata medisnya sudah berjalan. Mulai dari kedatangan di bandara, akses jalannya hingga sampai di rumahsakit.

Untuk mendukung penelitiannya, promovendus Ediansyah mengumpulkan data secara online melalui kuesioner yang dibagikan kepada direktur rumah sakit kelas A dan B yang terakreditasi, baik nasional maupun internasional.

Menurut dr. Ediansyah, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan berjejaring, orientasi pasar, serta integrasi sumber daya berpengaruh positif terhadap kinerja rumah sakit.

Penelitian ini juga membuktikan adanya hubungan dari tiap faktor kepada satu sama lain, dibantu dengan beberapa faktor lainnya. Salah satunya adalah bagaimana ekosistem wisata medis dapat memperkuat hubungan antara kinerja rumah sakit dengan kemampuan berjejaring.

"Dari penelitian saya, ada 22% rumah sakit yang punya program wisata medis dan belakangan makin banyak rumah sakit yang fokus pada layanan wisata medis." tambahnya.

Promovendus juga memberikan saran agar pemerintah dapat membentuk wadah bagi stakeholder ekosistem wisata medis dan memberikan insentif kepada rumah sakit. Selain itu, sarannya rumah sakit harus menyediakan sumber daya manusia dengan kemampuan komunikasi yang baik.

Sri Bramantoro Abdinagoro, ko-promotor dan Deputy Head of Doctor of Research in Management Binus Business School berharap hasil penelitian Ediansyah bisa memberikan kontribusi keberlanjutan dalam pembangunan sosial ke depannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon