Pengemudi Go-Jek Makassar protes kebijakan tarif



MAKASSAR. Ratusan pengemudi angkutan berbasis-aplikasi Go-Jek menggelar demonstrasi di Makassar, Sumatera Selatan, menolak kebijakan tarif lebih murah yang diberlakukan manajemen Go-Jek cabang Makassar.

"Kami menolak tarif rendah argo Go-Jek yang baru diberlakukan manajemen untuk layanan pengantaran makanan atau Go-Food," papar korlap aksi Salahuddin di Kantor Go-Jek Makassar, Jalan Bulukunyi, Senin (13/2)

Menurut dia, selama ini restoran atau rumah makan yang sudah bekerja sama dengan pelayanan Go-Jek dari tarif awal Rp9.000 ditambah kredit Rp3.000. Sedangkan tarif sekarang tunai Rp4.000 ditambah kredit Rp4.000 menjadi Rp8.000.


"Jadi tarif jasa untuk pengantaran yang kami dapatkan dari konsumen hanya empat ribu rupiah, belum termasuk biaya parkir di restoran," paparnya saat aksi.

Selain itu, restoran yang belum bekerja sama dari tarif awal sebesar Rp15.000 menjadi "cash" Rp9.000, tetapi tidak masuk "credit point" pengemudi Go-Jek belum termasuk biaya parkir.

"Paling kami hanya mendapat seribu rupiah padahal yang kami habiskan biaya kuota, biaya pulsa untuk menghubungi pelanggan juga biaya parkir. Padahal, memakai uang kami dulu beli makanan nanti diganti oleh pemesan. Untung-untungan dikasih lebih, tetapi biasanya pas-pasan," ujarnya.

Sementara pengemudi Go-Jek lainnya, Ramli, selama ini bekerja tidak mendapatkan biaya operasional, bahkan perlindungan kesehatan tidak didaftarkan perusahaan dan hanya mendaftar mandiri di BPJS kesehatan.

"Perusahaan tidak mau mengurusi asuransi atau jaminan kesehatan kami, seharusnya itu juga diperhatikan," kata pria dua anak itu.

Kantor Go-Jek berlantai tiga di Jalan Bulukunyi, Kecamatan Makassar, tidak terpasang plang atau keterangan status kantor.

Secara terpisah, anggota Komisi E DPRD Sulsel Syamsuddin Karlos mengatakan, seharusnya transportasi berbasis daring (online) harus mengikuti aturan, sebab selama ini terkesan bebas pajak, padahal keuntungan yang didapatkan sangat besar.

"Setahu saya itu tidak dikenakan pajak, bahkan izinnya bersifat nasional, padahal seharusnya izin itu dikeluarkan di daerah masing-masing dan tidak masuk pendapatan asli daerah. Ini yang perlu dikritisi," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto