KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia masih perlu kerja keras untuk menangkal dampak pengetatan moneter di dunia. Pasalnya, pengetatan moneter bank sentral di berbagai negara bakal berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengungkapkan, pengetatan moneter berpotensi lebih lama karena transmisinya butuh waktu lama dalam menurunkan inflasi. "Kebijakan moneter ini akan bertahan relatif lama, sampai satu hingga dua tahun ke depan," kata Dody, Senin (12/12).
Pengetatan moneter ini berisiko bagi perekonomian domestik. Pasalnya, suku bunga tinggi berpotensi menghambat progres pemulihan ekonomi yang mulai berjalan setelah kasus Covid-19 melandai.
Baca Juga: BI Prediksi Pengetatan Moneter Bank Sentral Dunia Berpotensi Berlangsung Lebih Lama Tak hanya inflasi, negara-negara di dunia juga terancam mengalami stagflasi atau pertumbuhan ekonomi stagnan dengan risiko inflasi tinggi. Lebih buruk, ada negara-negara yang bahkan terancam mengalami resflasi atau resesi dengan risiko inflasi yang masih tinggi. Meski begitu, Dody berharap, inflasi akan melandai dari waktu ke waktu. Pada tahun 2022, BI memperkirakan inflasi global akan mencapai 9,2%. Dengan berbagai langkah yang diambil oleh otoritas, inflasi global diperkirakan melandai pada tahun 2023 menjadi sekitar 5,2%, dan di 2024 berada di level 3,8%. Namun, Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual melihat sebaliknya. Tren pengetatan kebijakan moneter tak akan berlangsung lama karena bisa menekan sektor riil di negara tersebut. "Agak berat ekonomi mereka kalau selama itu. Jadi mungkin lebih cepat dari dua tahun," kata David kepada KONTAN, Selasa (13/12).
Baca Juga: Ekonomi Australia Melambat di Kuartal III-2022, Ini Penyebabnya Bagi Indonesia sendiri, dinamika global ini akan berdampak terhadap kinerja investasi jangka menengah pendek. Sementara investasi yang bersifat menengah panjang tidak terlalu terdampak.
Apalagi, kondisi ekonomi Indonesia masih kuat karena didukung konsumsi domestik. Meski begitu, "Indonesia tetap perlu jaga stabilitas ekonomi dan politik," tambah David. Wakil Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listyanto mengatakan, diperlukan insentif dari sisi fiskal untuk menangkal dampak pengetatan kebijakan moneter global. Misalnya, diskon pajak bagi pengusaha yang terdampak pengetatan suku bunga global tersebut. "Tapi agak sulit ya, karena target pajak selalu naik. Tapi insentif fiskal tetap diperlukan untuk sektor tertentu yang terdampak," kata Eko. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli