Penggilingan padi & pedagang masuk radar KPPU



JAKARTA. Kenaikan harga beras yang masih berlanjut hingga saat ini menjadi perhatian serius Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Wasit persaingan usaha ini telah menelusuri mata rantai distribusi beras mulai dari tingkat petani hingga ke konsumen di pasaran. Dari hasil penelusuran tersebut, KPPU menyimpulkan belum ada indikasi kartel di antara pedagang beras untuk menentukan harga. Namun KPPU menilai terbuka peluang bagi perusahaan penggilingan padi dan pedagang besar di setiap daerah untuk memainkan harga beras. KPPU saat ini tengah menelusuri perusahaan penggilingan padi.

 

Komisioner KPPU Syarkawi Rauf mengatakan berdasarkan mata rantai distribusi beras yang ditelusuri selama ini, permainan harga beras kemungkinan besar bisa terjadi di level menengah rantai distrisusi yakni perusahaan penggilingan dan pedagang besar. Sementara dari tingkat petani ke pedagang pengumpul tidak mungkin terjadi kartel karena jumlahnya banyak. Namun dari pedagang pengumpul beras ke perusahaan penggilingan, jumlahnya tidak banyak di masing-masing daerah. Misalnya di Medan hanya ada 5 hingga 10 perusahaan penggilingan besar, di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan masing-masing ada 4 penggilingan dan ada beberapa di Lampung dan Jawa Timur. 

 

"Dari pengalaman selama ini, kenaikan harga beras dimulai dari perusahaan penggilingan dan pedagang besar sampai kepada konsumen," ujar Syarkawi kepada KONTAN, Senin (2/3).

 

Perusahaan penggilingan dan pedagang besar dinilai berpeluang bisa memainkan harga beras lantaran jumlahnya sedikit dan memiliki kekuasaan mengatur harga beras kepada distributor. Itulah sebabnya, margin kenaikan harga beras di tiap daerah berbeda-beda, tergantung dari industri penggilingan dan pedagang besar di masing-masing daerah. "Dengan kondisi ini, tidak tertutup adanya kemungkinan kartel di tingkat penggilingan atau pengusaha besar di daerah. KPPU terus menyelidikinya," imbuh Syarkawi.

 

Menurut Syarkawi, kenaikan harga beas di DKI saat ini mencapai 30%, sedangkan di Jawa Barat naik 10%, Makasar naik 10% hingga 15% dan Samarinda naik 20%. Kenaikan ini terjadi karena struktur pasar beras di Indonesia bersifat oligopolis artinya pendistribusian beras hanya dilakukan segelintir pelaku usaha yang menguasai pabrik penggilingan dan pedagan besar saja. Mereka ini bisa mengatur berapa harga beras di daerah masing-masing.

 

Sementara itu, Badan Urusan Logistik (Bulog) dinilai tidak memiliki kapasitas yang cukup besar untuk menentukan harga beras. Dari hitungan KPPU, kebutuhan beras di selurh Indonesia mencapai 2,5 juta ton per bulan. Dari jumlah itu, Bulog hanya menguasai sekitar 20% hingga 25%, sementara sisanya dikuasai Swasta sekitar 75% hingga 80%. Jika pelaku usaha ini kompak melakukan kartel, maka peranan Bulog melakukan stabilitasi harga tidak ada artinya. "Jadi pergerakan harga beras itu, benar-benar dikontrol pengusaha," terang Syarkawi.

 

Kenaikan harga beras di pasaran berbanding terbalik dengan harga gabah kering di tingkat petani. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat justru terjadi penurunan harga gabah kering di tingkat petani. Harga gabah kering panen pada Februari 2015 di tingkat petani sebesar Rp 4.922,52 per kilogram (kg). Harga itu turun 2,1% dibanding Januari 2015.

 

BPS mencatat harga gabah kering kualitas rendah paling murah terjadi di Jawa Barat Rp 3.300 per kg dan paling mahal mencapai Rp 8.200 per kg di Kalimantan Tengah. Harga gabah yang dijual petani turun 2,1% tetapi di penggilingan naik 0,33%. Di pedagang grosir naik lagi 1,01%, ke tingkat eceran dijual ke konsumen naik 2,88%. Dengan demikian, industri penggilingan meraup untung banyak dari kenaikan harga beras ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Havid Vebri