Pengguna internet RI sumbang Rp 15 T untuk asing



JAKARTA. Indonesia sudah tidak diragukan merupakan pasar yang subur bagi negara-negara maju. Di bisnis digital, Indonesia termasuk menjadi penyumbang pemasukan (revenue) tertinggi bagi pemilik layanan, konten, dan pengembang aplikasi dari luar negeri.

Nilainya pun cukup fantastis. Jumlah uang yang "lari" keluar dari bandwidth internet dan konsumsi aplikasi atau konten luar ditaksir mencapai Rp 15 triliun per tahun.

Hal tersebut disampaikan oleh Henri Kasyfi, Co-Founder dan Comissioner di IDC Data Center dalam seminar yang membahas tentang kedaulatan internet Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (27/11/2014).


Dijelaskan oleh Henri, dari jumlah populasi 251 juta orang, pengguna aktif internet di Indonesia saat ini ditaksir sekitar 71,2 juta, dengan pengguna sosial media aktif per bulannya 70 juta orang.

Di sisi lain, pelanggan seluler di Indonesia mencapai 314 juta orang dengan 48 juta di antaranya menjadi pengguna aktif media sosial mobile. Dengan angka yang fantastis tersebut, sayangnya konten-konten yang dikonsumsi masih didominasi oleh konten dan aplikasi buatan pihak luar. 

Dalam hal jejaring sosial misalnya, jumlah pengguna Facebook di Indonesia menjadi yang terbesar keempat di dunia dengan jumlah 64 juta orang. Sementara untuk jumlah pengguna Twitter, Indonesia berada di peringkat kelima.

Menurut Henri, jumlah revenue yang didapat jejaring sosial Facebook jika dibagi dengan jumlah penggunanya di kuartal 1 2014 lalu, maka akan didapatkan angka us$ 2 dollar AS per pengguna. Dengan perhitungan tersebut, Indonesia telah menyumbangkan sekitar 500 juta dollar AS untuk Facebook. 

Sementara untuk jejaring sosial Twitter, Henri yang juga merupakan Chairman KlikIndonesia.org itu menyebut sumbangan dari pengguna di Indonesia saja mencapai 120 juta dollar AS per tahun, dan dari sektor lain seperti situs web dan aplikasi mobile mencapai 500 juta dollar AS.

"Jadi kalau dihitung-hitung, (pengguna internet) Indonesia itu menyumbang sekitar 1,2 miliar dollar AS (sekitar Rp 15 triliun) ke pihak luar dalam setahun," demikian kata Henri.

Ditambahkan oleh Henri, dari jumlah kunjungan pengguna internet ke situs-situs luar, jika ditotal dalam satu tahun, bandwidth trafik dari Indonesia bisa mencapai 500 Gbps atau setara dengan 600 juta dollar AS (atau Rp 7,2 triliun).

Menurut Henri, Indonesia masih akan terus menjadi negara konsumtif karena aplikasi dan konten yang ada di dalam negeri saat ini belum bisa bersaing dengan aplikasi dan konten buatan luar.

"Mengapa tidak bisa bersaing? Karena di luar sana ekosistemnya sudah terlanjur kuat," kata Henri.

Henri mengatakan, yang membedakan konten lokal dengan buatan luar adalah di luar sana selain ekosistemnya sudah komplit, hukum, peraturan dan pajaknya lebih dipermudah. Sementara di Indonesia), selain ekosistemnya hampir belum ada, peraturan (undang-undang) juga belum lengkap dalam mengatur.

Indonesia, menurut Henri, bisa dibilang kehilangan kedaulatannya di ranah digital. Menurutnya ada beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal dibanding negara lain.

Faktor-faktor tersebut antara lain konten global yang dianggap lebih "seksi" bagi operator telekomunikasi dibanding konten lokal, sehingga lebih didorong dengan banyak promosi dan program.

Dengan demikian, konten-konten lokal seolah di-anaktirikan, sehingga menyebabkan ekosistem yang sulit untuk berkembang.

Selain itu, Kesadaran potensi konten lokal yang sebenarnya menarik bagi pasar internasional juga diakui Henri masih rendah. 

Karena itu, untuk menciptakan kedaulatan digital (digital sovereignty), dibutuhkan ekosistem digital nasional yang di dalamnya meliputi data manajemen yang rapi, ekonomi digital yang sudah berjalan dengan baik, serta didukung oleh teknologi yang mendukung.(Reska K. Nistanto)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa