Pengguna PLTS Atap keluhkan Permen ESDM No. 49/2018, begini penjelasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) mengeluhkan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN. Bahkan, beleid yang diterbitkan 15 November 2018 tersebut dinilai malah bisa menghambat pengembangan PLTS Atap di tanah air.

Ketua PPLSA Yohanes Bambang Sumaryo menyoroti sejumlah poin dalam Permen tersebut. Yohanes mengungkapkan, poin pertama yang dinilai dikeluhkan pengguna PLTS Atap ialah terkait dengan penghitungan nilai kilo watt per hour (kWh) ekspor-impor yang dikali 65% atau hanya senilai 0,65, bukan 100% atau 1.

Menurut Yohanes, itu berpengaruh signifikan terhadap pengguna PLTS Atap eksisting on-grid (terhubung PLN). Sebab, hampir 90% penggunaan listrik terjadi pada malam hari yang bergantung pada penyimpanan grid atau dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).


Sehingga, dengan perhitungan tarif tersebut, nilai keekonomisannya menjadi berkurang. "Bagi kita sih itu signifikan, begitu nilainya di anggap 0,65, itu langsung turun," ungkapnya belum lama ini.

Alhasil, Yohanes memperkirakan, sekitar 30% pengguna PLTS Atap memilih beralih dari on grid menjadi off grid, kendati memerlukan biaya investasi yang lebih mahal. Hal itu lantaran ada investasi tambahan bagi pengguna off grid, karena membutuhkan beterai.

Saat ini, biaya investasi untuk pemasangan PLTS Atap berada dikisaran Rp 12 juta-Rp 14 juta per kilo watt peak. "Kalau tambah baterai, kira-kira 50% dari harga itu. (Investasi) yang off grid sekitar Rp 20 juta. Sekarang pengguna (PLTS Atap) belum ada 1.000 rumah," katanya.

Selain itu, poin lain yang dinilai menghambat pengembangan PLTS Atap ialah soal pembangunan dan pemasangan. Selain memerlukan persetujuan dari PLN, dalam Pasal 10 beleid tersebut juga disebutkan pelaksanaan pembangunan dan pemasangan sistem PLTS Atap wajib dilakukan oleh Badan Usaha yang telah tersertifikasi.

"Selama ini kan pada dasarnya orang pasang, habis itu kalau dia membutuhkan kWh ekspor impor, lapor PLN," ujar Yohanes.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengklaim bahwa pihaknya terbuka untuk menerima masukan tersebut. Kendati demikian, Rida mengatakan bahwa saat ini pihaknya baru sampai pada tahap untuk menggencarkan sosialisasi dari Permen tersebut.

"Kita malah baru mau menggencarkan sosialisasinya. Yang jelas, apapun masukannya, coba datang, kasih tahu kita," kata Rida.

Sementara, menurut Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali, dan Nusa Tenggara yang juga menjabat sebagai Pembina EBT PLN Djoko Raharjo Abumanan, pelanggan PLN yang menggunakan PLTS Atap terus mengalami kenaikan. Hanya saja, karena Permen ESDM Nomor 49/2018 ini baru diterbitkan, jadi dampaknya belum terasa signifikan.

"Ya belum (terasa dampak dari Permen 49/2018). Ini kan lebih karena kesadaran masyarakat yang mampu untuk menjadikan perubahan iklim sebagai komitmen bersama," ungkapnya kepada Kontan.co.id Minggu (17/2).

Hingga Januari 2019, tercatat ada 609 pelanggan PLN yang menggunakan PLTS Atap. Jumlah itu setara dengan 129.572 kWh ekspor.

Jumlah itu naik dari Januari tahun 2018 yang baru menyentuh 338 pelanggan, 351 pelanggan pada bulan Februari, 372 pelanggan pada bulan Maret, dan 399 pelanggan pada bulan April.

Sedangkan pada bulan Mei 2018, jumlah pelanggan yang memakai PLTS Atap sudah menyentuh angka 414. Pada bulan Juni, jumlahnya bertambah menjadi 426, dan terus bertambah menjadi 458 pelanggan pada bulan Juli.

Pada Agustus 2018, jumlahnya bertambah menjadi 472 pelanggan, berlanjut pada bulan September yang menjadi 499, dan 524 pelanggan pada bulan Oktober. Sementara pada bulan November, jumlahnya menjadi 553 pelanggan dan pada bulan Desember menjadi 592 pelanggan.

Djoko menegaskan bahwa PLN tidak merasa terganggu, dan berkomitmen untuk terus mendorong pengembangan PLTS Atap. Sebab, itu juga bisa membantu PLN dalam bauran energi terbarukan sebesa 23% pada tahun 2025 mendatang.

Djoko berharap, Permen ini bisa mendorong pengembangan EBT di tanah air. "Sebelum ada Permen ini kan, PLN sudah pakai sejak 2013. Jadi Permen ini diharapkan bisa mengakselerasi," tandasnya.

Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 ini justru bisa menghambat pengembangan PLTS Atap. Fabby sepakat dengan keluhan dari PPLSA.

Menurut Fabby, dengan perhitungan dalam beleid tersebut, tingkat pengembalian investasinya menjadi lebih lama dari hitungan ideal. Dengan perhitungan nilai eksim seebsar 65% atau 0,65, Fabby menilai tingkat pengembalian investasi untuk pemasangan panel surya akan menjadi 11-12 tahun.

Padahal, dengan perhitungan tarif ekspor 100% atau 1:1 yang berarti tarif listrik yang dijual ke sambungan PLN sama dengan tarif yang dibeli dari sambungan PLN, pengembalian investasi akan memakan waktu sekitar delapan tahun.

"Yang dibutuhkan apa? tarifnya 1 banding 1 aja. kalau bisa 1 banding 1,25 ya bagus. Jadi dengan demikian masyarakat mau investasi dan pengembalian investasinya diharapkan kurang dari 7 tahun," terangnya.

Menurut riset pasar yang telah dilakukan, Fabby menjealskan bahwa ada paling tidak sebanyak 4 juta-4,5 juta rumah tangga di Pulau Jawa yang akan memasang PLTS Atap. Syaratnya, pertama, ada potensi penghematan listrik lebih besar dari 30%, dan kedua, biaya investasinya harus kembali di bawah tujuh tahun.

Dalam perhitungannya, tambahan pengguna 4-4,5 rumah tangga itu setara dengan 15-17 gigaWatt peak. Hal ini, lanjut Fabby, akan bisa membantu pemerintah untuk mencapai target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025.

"Bayangkan itu yang investasi bukan pemerintah, tapi masyarakat," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi