KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP26 yang digelar di Glasgow, Skotlandia membuahkan draf (rancangan) kesepakatan ketiga terkait penghapusan batubara secara bertahap dan mengakhiri subsidi untuk bahan bakar fosil. Rancangan tersebut mendesak banyak negara untuk segera meningkatkan penggunaan pembangkit listrik bersih dengan menghapuskan sumber energi yang menggunakan tenaga batubara. Menanggapi hal ini, Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk (
BUMI) mengatakan, konsumsi batubara sangat tergantung pada kekuatan permintaan di pasar. Jika memang pasar diminta untuk menjauhi pemakaian batubara dengan adanya desain kebijakan tertentu, dalam hal ini adalah komitmen internasional, maka pasar perlu diberikan pengganti (subsitusi) batubara yang andal dan terjangkau.
Sebaliknya, jika pasar tidak disediakan energi pengganti yang sepadan dengan batubara, maka akan ada konsekuensi ekonomi yang nyata bagi bisnis dan sektor rumah tangga. “Pengembangan energi terbarukan sebagai substitusi batubara, baik dari segi biaya maupun keandalan teknologi masih membutuhkan waktu, itulah alasan utama mengapa susunan kata dalam COP26 adalah
phase down (menurunkan) bukan
phase out (meninggalkan),” kata Dileep kepada Kontan.co.id, Senin (15/11).
Baca Juga: Perusahaan batubara yang penuhi DMO diberi keuntungan menambah produksi Frasa tersebut merupakan ejawantah dari kondisi realistis, bahwa transisi energi dunia sedang dihadapi. Kapasitas energi terbarukan tidak akan cukup untuk memberi daya energi kebutuhan sehari-hari seperti untuk belajar mengajar (sekolah), rumah, dan kebutuhan bisnis. Alhasil, naiknya permintaan energi disertai kurangnya pasokan pembangkit listrik selain dari batubara menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan, dalam merumuskan langkah-langkah mengurangi penggunaan batubara. Dus, salah satu solusinya yakni mencakup penerapan penggunaan batubara yang lebih bersih di pembangkit listrik, yang melibatkan teknologi Carbon Capture hingga Utilization and Storage (CCUS). Agenda COP26 memang bersifat futuristik, dan membutuhkan keseimbangan antara negara maju dan berkembang termasuk Indonesia. Dileep menyebut, agenda ini masih banyak memiliki pekerjaan rumah, terutama ihwal pendanaan besar-besaran untuk membuatnya menjadi nyata. BUMI akan mendukung kebijakan pemerintah terkait transisi energi, yang diyakini akan mempertimbangkan prinsip-prinsip yang adil dan terjangkau bagi masyarakat. “Kami juga telah berpartisipasi dalam proyek gasifikasi batubara dan mempertimbangkan proyek hilirisasi batubara lainnya,” kata Dileep. Dileep menyebut, pasokan batubara di Indonesia saat ini sangat terbatas terutama karena curah hujan deras yang terus berlanjut. Prioritas BUMI saat ini adalah memasok untuk kebutuhan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Setelah kebutuhan PLN terpenuhi, barulah BUMI melakukan ekspor Oleh karena itu, BUMI berusaha memaksimalkan produksi di tengah curah hujan yang tinggi. BUMI berupaya menghasilkan lebih banyak batubara dengan kualitas tinggi dari Arutmin karena industri dalam negeri terutama listrik adalah prioritas BUMI.
Sementara itu, Head of Corporate Communication PT Indika Energy Tbk (
INDY) Ricky Fernando mengatakan, INDY akan memperkuat diversifikasi bisnis sebagai bagian dari komitmen mewujudkan target 50% pendapatan dari sektor non batubara pada tahun 2025, dan mencapai net-zero pada 2050. Sejak 2018 lalu, INDY telah bertansisi dan mendiversifikasi portofolio bisnis, termasuk mengeksplorasi pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), solusi berbasis alam (
nature-based solutions), pertambangan emas, dan teknologi digital. Di segmen EBT, INDY mendirikan PT Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS), sebuah perusahaan penyedia solusi tenaga surya terintegrasi di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat