Penggunaan BBN Terancam Tidak Optimal



JAKARTA. Rencana pemerintah mewajibkan penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) bagi industri nampaknya terancam tertunda. Padahal, rencananya, pemerintah akan menerapkan pada September 2008. Fahmi Idris, Menteri Perindustrian mengatakan saat ini pasar belum mampu menyediakan BBN. Ia mengakui jika Indonesia memiliki bahan baku BBN seperti jarak pagar, tebu, jagung, singkong, dan minyak sawit mentah. Namun, bahan baku ini tidak mampu diserap oleh produsen BBN. Jika produsen tidak mampu menyerap maka akan menjadi kendala dikemudian hari. "Kalau hanya meneken surat sih mudah, tapi bagaimana setelah surat diteken?" tanyanya. Artinya, sebelum permasalahannya teratasi, maka ia meragukan aturan ini bisa berjalan optimal dan terancam tertunda. Bukan hanya persediaan BBN, masalah kordinasi yang terjadi antara pemasok dan pemasar juga tidak bagus. Fahmi menjelaskan harusnya PT Pertamina mampu menyerap BBN untuk dicampur dengan Bahan Bakar Minyak (BBM). Sayangnya, ia malah mengurangi penyerapan BBN berupa biofuel dan bioethanol. "Ini harus dibenahi, siapa yang bertugas menyerap BBN," tegasnya. Sayangya, Fahmi mengatakan bahwa ini bukan tugas Departemen Perindustrian. Menurut Fahmi kebijakan harga juga menjadi kendala bagi produsen. Tidak adanya patokan harga yang pasti membuat produsen kelimpungan karena tidak ada hitung-hitungan yang pasti. Asal tahu saja, pemerintah berencana mewajibkan penggunaan BBN bagi industri minimal 2,5% pada September. Secara bertahap, pemerintah akan menaikkan kewajiban tersebut menjadi 5% hingga 10%. Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel dan Bioethanol Indonesia Purnadi Djojosudirdjo membantah jika ia tidak mampu menyediakan BBN yang nantinya akan diwajibkan oleh pemerintah. "Hingga 10% pun kami akan siap," katanya tanpa mau mengatakan berapa jumlah produksinya. Apalagi, menurut Purnadi banyak investor yang tertarik membangun pabrik biofuel dan bioethanol baik lokal maupun asing. Sayangnya, investasi ini tertunda karena belum ada kepastian tentang aturan kewajiban tersebut. "Jika sudah ada kepastian, 17 pabrik yang selama ini idle juga akan berproduksi kembali," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Test Test