JAKARTA. Rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas untuk menghapus bensin RON 88 atau BBM premium dan diganti dengan RON 92 (Pertamax) belum bisa dilakukan. Karena fungsi anak usaha PT Pertamina (Persero) yakni Pertamina Trading Limited (Petral) belum dialihkan ke Integrated Supllay Chain (ISC). Belum dialihkannya fungsi Petral tersebut dikarenakan Petral sudah mengadakan tender pengadaan impor BBM RON 88 dengan tenor waktu enam bulan kedepan. Maka dari itu, penghapusan RON 88 tersebut belum bisa dilakukan sampai tenor tersebut habis. Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Agung Wicaksono mengatakan, sebelum ISC mengambil peran Petral, ternyata Petral telah melakukan pengadaan BBM terlebih dahulu. "Maka dari itu, rekomendasi kita belum bisa diwujudkan, karena ulah Petral yang ngadain BBM. Jangka waktunya kan enam bulan, kita harus tunggu sampai habis waktu kontraknya dulu," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (31/3). Menurutnya, rekomendasi perubahan fungsi Petral tersebut sudah didukung oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "ISC baru bisa melakukan impor BBM setelah tenor habis, nah itu kan baru bisa kita impor BBM jenis RON 92, tapi tergantung dari Pertamina sendiri nantinya seperti apa," katanya. Mengenai kilang minyak Pertamina, apakah bisa dilakukan perubahan dari RON 88 ke RON 92. Agung bilang, hal tersebut bisa saja. Akan tetapi, jika perubahan tersebut dilakukan secara langsung, akan ada dampak yang merugikan untuk Pertamina. "Bisa saja dengan kilang yang ada, tapi dampaknya ke Pertamina dan masyarakat bagaimana, kan Pertamina juga akan bangun kilang nantinya yang bisa menghasilkan RON 92," tuturnya. Sementara itu, Vice Presiden Comunication Pertamina, Wianda Pusponegoro mengatakan, bahwa Pertamina menyatakan kesiapannya jika memang sudah diutus oleh Kementerian ESDM untuk menghapus RON 88. Namun hal tersebut harus dilakukan secara bertahap, tidak bisa dilakukan secara langsung. Pasalnya, saat ini juga, rencana pembangunan kilang baru Pertamina yang bisa menghasilkan RON 92 juga masih terkendala masing-masing yang akan membangun. "Target bangun kilang juga kan tidak cepat, bisa sampai lima hingga enam tahun," terangnya kepada KONTAN, Selasa (31/3). Saat ini Pertamina sedang mengerjakan proyek Refining Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR). Dan masih akan berkomunikasi dengan Kementerian ESDM. "Kita juga tunggu keputusan Kementerian ESDM seperti apa," jelasnya. Asalkan, terang Wianda, pemerintah memberikan kepastian hukum kepada Pertamina atas penghapusan jenis RON 88 ini. "Agar jelas, sebab perubahan ke RON 92 ini jelas membutuhkan payung hukum, karena kan sebelumnya masyarakat terbiasa dengan harga RON 88," tandasnya. Melalui RDMP, Pertamina akan berupaya untuk memperbarui kilang nasional yang saat ini dimiliki. Tahap pertama tiga kilang yakni Balongan, Cilacap, dan Balikpapan, ditargetkan akan beroperasi pada 2020-2021. Sementara tahap kedua Kilang Dumai dan Plaju direncanakan pada 2025. Dipastikan, melalui RDMP ini kebutuhan pasokan BBM dari dalam negeri bisa meningkat jadi 600.000 barel per hari.
Penghapusan BBM jenis Premium tertunda
JAKARTA. Rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas untuk menghapus bensin RON 88 atau BBM premium dan diganti dengan RON 92 (Pertamax) belum bisa dilakukan. Karena fungsi anak usaha PT Pertamina (Persero) yakni Pertamina Trading Limited (Petral) belum dialihkan ke Integrated Supllay Chain (ISC). Belum dialihkannya fungsi Petral tersebut dikarenakan Petral sudah mengadakan tender pengadaan impor BBM RON 88 dengan tenor waktu enam bulan kedepan. Maka dari itu, penghapusan RON 88 tersebut belum bisa dilakukan sampai tenor tersebut habis. Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Agung Wicaksono mengatakan, sebelum ISC mengambil peran Petral, ternyata Petral telah melakukan pengadaan BBM terlebih dahulu. "Maka dari itu, rekomendasi kita belum bisa diwujudkan, karena ulah Petral yang ngadain BBM. Jangka waktunya kan enam bulan, kita harus tunggu sampai habis waktu kontraknya dulu," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (31/3). Menurutnya, rekomendasi perubahan fungsi Petral tersebut sudah didukung oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "ISC baru bisa melakukan impor BBM setelah tenor habis, nah itu kan baru bisa kita impor BBM jenis RON 92, tapi tergantung dari Pertamina sendiri nantinya seperti apa," katanya. Mengenai kilang minyak Pertamina, apakah bisa dilakukan perubahan dari RON 88 ke RON 92. Agung bilang, hal tersebut bisa saja. Akan tetapi, jika perubahan tersebut dilakukan secara langsung, akan ada dampak yang merugikan untuk Pertamina. "Bisa saja dengan kilang yang ada, tapi dampaknya ke Pertamina dan masyarakat bagaimana, kan Pertamina juga akan bangun kilang nantinya yang bisa menghasilkan RON 92," tuturnya. Sementara itu, Vice Presiden Comunication Pertamina, Wianda Pusponegoro mengatakan, bahwa Pertamina menyatakan kesiapannya jika memang sudah diutus oleh Kementerian ESDM untuk menghapus RON 88. Namun hal tersebut harus dilakukan secara bertahap, tidak bisa dilakukan secara langsung. Pasalnya, saat ini juga, rencana pembangunan kilang baru Pertamina yang bisa menghasilkan RON 92 juga masih terkendala masing-masing yang akan membangun. "Target bangun kilang juga kan tidak cepat, bisa sampai lima hingga enam tahun," terangnya kepada KONTAN, Selasa (31/3). Saat ini Pertamina sedang mengerjakan proyek Refining Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR). Dan masih akan berkomunikasi dengan Kementerian ESDM. "Kita juga tunggu keputusan Kementerian ESDM seperti apa," jelasnya. Asalkan, terang Wianda, pemerintah memberikan kepastian hukum kepada Pertamina atas penghapusan jenis RON 88 ini. "Agar jelas, sebab perubahan ke RON 92 ini jelas membutuhkan payung hukum, karena kan sebelumnya masyarakat terbiasa dengan harga RON 88," tandasnya. Melalui RDMP, Pertamina akan berupaya untuk memperbarui kilang nasional yang saat ini dimiliki. Tahap pertama tiga kilang yakni Balongan, Cilacap, dan Balikpapan, ditargetkan akan beroperasi pada 2020-2021. Sementara tahap kedua Kilang Dumai dan Plaju direncanakan pada 2025. Dipastikan, melalui RDMP ini kebutuhan pasokan BBM dari dalam negeri bisa meningkat jadi 600.000 barel per hari.