KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sempat menjadi pekerjaan "idaman" bahkan sempat ada artikel yang menyebut penghasilan lebih tinggi dibanding manajer, kini mayoritas pengemudi ojek online (ojol) dan kurir, tepatnya 66% lebih menyukai bekerja kantoran. Sebagian besar dari mereka ingin berhenti mengemudi dan memilih bekerja di kantor dengan jam kerja normal, pagi hingga petang. Lingkungan pekerjaan yang buruk dan penghasilan yang tidak menentu kerja menjadi alasan terbesar mereka. Hal tersebut terungkap dari hasil penelitian Mahasiswa Doktoral London School of Economic, Yorga Permana. Ia melakukan survei kepada 1.000 orang kurir dan pengemudi ojol Jabodetabek sepanjang tahun 2021-2022. Selain itu, ia juga melakukan wawancara mendalam kepada sebagian responden.
Baca Juga: Wacana Tarif Ojol Dialihkan ke Pemda, Apa Dampaknya Penelitiannya juga menunjukkan, hanya 5% pengemudi ojek
online yang sebelumnya bekerja sebagai driver ojek konvensional. Sedangkan 49% merupakan karyawan kantoran. Selebihnya adalah pelajar, pengangguran, atau mereka yang sebelumnya bekerja di sektor informal lain. “Artinya aplikasi ojek
online gagal mentransformasi pengemudi ojek konvensional. Sebab, nyatanya pengemudi ojek online adalah orang-orang yang sebelumnya memiliki pekerjaan tetap di kantor,” ujarnya melalui keterangan tertulis ke Kontan.co.id, awal pekan ini. Yorga yang merupakan peneliti Doctoral Epistemic of Indonesian in the United Kingdom (Doctrine-UK) mengatakan, beragam kasus kecelakaan yang dialami pengemudi ojol karena mereka diduga kelelahan, harus menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk memperketat regulasi dan operator mengevaluasi model bisnis ojek online.
Baca Juga: Aplikator Ojol Tegaskan Patuh pada Aturan Kemenhub Soal Tarif Di sisi lain, agenda penciptaan lapangan kerja di sektor formal harus menjadi prioritas. Sehingga menjadi pengemudi ojol bukan satu-satunya pilihan pekerjaan bagi masyarakat kelas bawah. Banyak pengemudi ojek
online yang meninggalkan pekerjaan sebelumnya karena iming-iming penghasilan tambahan yang menarik. Namun sebagian besar kini menyesal. Sebab, penghasilan mereka kini terjun bebas. Menurut penelitiannya, ada tiga faktor yang membuat para pengemudi ojek
online ini ingin meninggalkan pekerjaannya.
Baca Juga: Ojol Jadi Buffer di Tengah Sulitnya Lapangan Pekerjaan di Masa Pandemi Pertama, penghasilan para driver sudah merosot, bahkan sebelum pandemi COVID-19. Skema bonus harian yang ditawarkan aplikasi tidak lagi seatraktif di awal kehadirannya. Demi mencapai pertumbuhan secepat mungkin, di fase awal perusahaan platform membakar uang untuk merekrut pengemudi. “Namun, saat aplikasi sudah tumbuh semakin besar, skema bonus perlahan dikurangi dan dipersulit. Sehingga hanya sedikit pekerja yang bisa mendapatkannya,” ungkap Yorga yang juga dosen di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung tersebut.
Kedua, semakin banyaknya pengemudi yang bergabung ke dalam aplikasi. Sehingga pengemudi merasa bersaing satu sama lain. Banyak pengemudi yang bekerja tanpa kenal waktu agar mendapatkan penghasilan yang besar. “Mereka rata-rata bekerja 54 jam sepekan Sebagai perbandingan, di Inggris hanya 8% pekerja berbasis aplikasi yang bekerja lebih dari 35 jam per pekan,” katanya.
Baca Juga: Ojek Online Masuk Prioritas Penerima Subsidi Sepeda Motor Listrik Banyaknya pengemudi ini juga membuat daya tawar mereka rendah. “Bagaimana mau protes secara kolektif jika sesama pengemudi merasa bersaing karena rekrutmen terus menerus dilakukan,” tambah Yorga. Faktor
ketiga adalah munculnya pandemi. Sektor transportasi adalah salah satu sektor yang paling terdampak akibat pembatasan sosial. Meski mereka cukup tertolong dengan meningkatnya pesanan makanan antar dan pengantaran barang, namun tetap saja penghasilan menurun. “Sebanyak 90% pengemudi online mengalami penurunan penghasilan yang cukup signifikan selama pandemi. Mereka mengatakan dalam satu hari hanya mendapatkan 1 atau 2 pekerjaan walaupun aplikasinya terus menyala sepanjang waktu,” terang Yoga.
Baca Juga: Garap Segmen Informal, BTN Siap Salurkan KPR ke Mitra Driver Gojek Penelitian ini juga mengukur tingkat kebahagiaan dan tingkat kecemasan mereka dari skala 0 sampai 10. Diperoleh nilai rata-rata kebahagiaan pengemudi ojol adalah 6 dan rata-rata kecemasan mereka 6,4. “Saya bandingkan dengan studi dari Universitas Oxford dan Uber kepada 1.000 orang pengemudi Uber di London dengan cara pengukuran yang sama. Rata-rata tingkat kebahagiaan mereka 7,5 dan kecemasan mereka 4. Artinya di masa pandemi ini, pengemudi ojol di Jakarta lebih banyak cemas-nya daripada bahagianya.” tambah Yorga.
Baca Juga: Hindari Denda, Simak Cara Bayar PBB Online Lewat Gojek Meski lebih memilih untuk berhenti mengemudi,mereka mengaku sulit keluar. Sebab, terbatasnya pilihan pekerjaan. Sementara mayoritas pengemudi tidak memiliki sumber pendapatan lain. Oleh sebab itu, Yorga mendesak pemerintah menyusun regulasi formal hubungan kerja antara perusahaan platform dan para pengemudi ojek online. “Tanpa adanya payung hukum yang jelas, perusahaan bisa seenaknya memperlakukan pengemudi dan bersembunyi di balik ilusi ‘kemitraan” ujar Yorga. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ahmad Febrian