Penghujung 2022 Perbankan Khawatir dengan Tren DPK Melambat dan Yield Naik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merampungkan survei orientasi perbankan triwulan keempat 2022. Regulator menemukan informasi terkait beberapa isu di kalangan perbankan.

Pertama, tren kenaikan imbal hasil atau yield dapat menyebabkan turunnya nilai wajar portofolio surat berharga akibat kenaikan suku bunga. Hal ini perlu diantisipasi guna mencegah munculnya risiko pasar.

mengutip Laporan Profil Industri Perbankan OJK pada Rabu (4/1) menyebutkan, berdasarkan hasil survei, diperoleh bahwa perbankan telah mempersiapkan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengantisipasi hal tersebut.  Melakukan monitoring atas kenaikan yield tersebut.


Bankir juga mulai mengurangi kepemilikan di portofolio surat berharga. Selain itu, menempatkan surat berharga ke tenor yang lebih pendek. Juga mengatur portofolio surat berharga lebih dikonsentrasikan untuk ditempatkan dalam bentuk hold to maturity (HTM) atau tetap di pegang hingga jatuh tempo.

Baca Juga: Penyaluran Kredit Perbankan ke Industri CPO Tembus Rp 374 Triliun di Kuartal III 2022

Kedua, himpunan dana pihak ketiga (DPK) cenderung melambat di tengah permintaan kredit yang terus meningkat. Tak terlepas dari ekonomi domestik berangsur-angsur mengalami pemulihan pasca pandemi Covid-19.

Hal ini salah satunya tercermin dari permintaan kredit yang terus meningkat. Namun demikian, pertumbuhan DPK justru cenderung melambat.

Pertumbuhan kredit yang meningkat signifikan dan DPK yang justru tumbuh melambat tersebut dikhawatirkan dapat berpotensi mengakibatkan terjadinya overheating kredit.

Laporan itu juga menyebut berdasarkan hasil survei, sebagian besar responden menyatakan bahwa saat ini LDR bank masih cukup memadai, sehingga meskipun pertumbuhan kredit lebih tinggi daripada pertumbuhan DPK, potensi terjadinya overheating kredit relatif kecil.

Dengan meningkatnya pertumbuhan kredit, bank juga selalu menjaga ketahanan likuiditasnya. Seiring dengan naiknya suku bunga acuan, maka akan menyebabkan kenaikan pada suku bunga kredit bank.

Ketiga, peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) restrukturisasi kredit akan segera berakhir. Adapun POJK Nomor 17/POJK.03/2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 akan berakhir pada 31 Maret 2023.

Namun, berdasarkan hasil survei, OJK mendapati responden melihat POJK restrukturisasi kredit tersebut masih perlu diperpanjang.

Mengingat kondisi perekonomian masih dalam tahap pemulihan dan belum sepenuhnya kembali ke masa sebelum pandemi Covid-19 dan laju pemulihan tersebut juga belum merata di semua sektor.

Adapun perpanjangan restrukturisasi kredit tersebut utamanya diperlukan untuk sektor pariwisata, sedangkan untuk segmen yang masih membutuhkan perpanjangan tersebut adalah segmen UMKM.

Baca Juga: OJK: Kredit Perbankan Bakal Tumbuh 2,8% di Kuartal IV-2022

Beberapa wilayah yang masih membutuhkan perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit tersebut menurut jawaban responden adalah Bali, DKI Jakarta, dan Jawa Timur.

Isu keempat, kenaikan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) oleh Bank Indonesia. Sebagian besar responden menyatakan bahwa kenaikan BI7DRR dapat berpengaruh terhadap suku bunga DPK maupun kredit.

Menurut responden bank akan menyesuaikan kenaikan tersebut pada 1 sampai 3 bulan setelah kenaikan tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto