JAKARTA. Biaya pengelolaan kepenghunian rumah susun masih perlu diperjelas. Pasalnya, penghuni sering mengadu karena merasa diperas, sementara pengembang mengklaim tak mengambil untung dari pengelolaan rumah susun atau apartemen kelas menengah ke bawah ini. Ketua Asosiasi Penghuni Rumah Susun Indonesia (Aperssi) Ibnu Tadji mengemukakan, para pengembang justru memanfaatkan pengelolaan rumah susun untuk berbisnis sehingga memberatkan penghuni. "Masih banyak rumah susun yang susunan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) dibentuk pengembang dan bukan penghuni, akibatnya biaya pengelolaan rusun sering sekali tidak transparan dan terus membengkak," ujar Ibnu.
Menurut Ibnu, tiap tahun biaya operasional bisa naik 10% hingga 20%, padahal kalau PPRS itu dibentuk sendiri oleh penghuni biayanya tidak semahal itu. Ibnu meminta agar pembentukan PPRS tidak lagi ditangani para pengembang, tapi serahkan kepada penghuni. Salah satu contohnya biaya air juga dijual sebesar Rp 11.000 per kubik, padahal umumnya harga air sebesar Rp 7000 per kubik. Paulus Asin, Ketua Perhimpunan Penghuni Puri Garden Apartemen menambahkan biaya operasional yang terus membengkak ini disebabkan masih banyaknya PPRS yang tidak berasal dari karyawan pengembang. Akhirnya, yang menentukan segala keputusan dan kenaikan biaya operasional adalah mereka sesuai dengan permintaan pengembang. "Kami sebagai penghuni sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi," ujarnya. Henry Kurniawan, penghuni Rumah Susun Sederhana Milik City Park, Cengkareng, mengeluhkan mekanisme pengelolaan rumah susun oleh PPRS bentukan pengembang. Setiap bulan, penghuni rumah susun itu dibebani biaya pengelolaan Rp 5.000 per meter persegi. Biaya itu di luar tarif bulanan penggunaan listrik dan air. "Biaya ini memberatkan kami," keluhnya. Tapi keluhan tersebut dibantah oleh Komisaris PT Wika Realty, anak usaha PT Wijaya Karya Tbk (
WIKA) Muhammad Nawir. Ia mengatakan umumnya para pengembang mengelola rumah susun atau apartemen menengah agar para penghuni dapat terurus dengan baik. Biasanya, pengembang menangani pengelolaan rumah susun itu dua tahun pertama setelah mulai dihuni. Sementara soal biaya pengelolaan (
service charge) itu diputuskan dalam rapat bersama penghuni. "Pengembang sama sekali tidak mengambil untung dari pengelolaan tersebut," ujarnya kepada KONTAN, Jumat (15/4).
Nawir memberikan contoh, proyek apartemen menengah ke bawah yang dikelola WIKA di Jalan Casablanka Jakarta yakni Taman Sari terdiri dari dua tower dengan jumlah unit 225 per tower. Setiap bulan, pengelola melalui PPRS yang dibentuk oleh WIKA memungut dua jenis biaya, Pertama, biaya
service charge untuk keperluan gaji satpam, kebersihan, listrik di koridor-koridor dan air di tempat umum seperti toilet umum dan menyiram taman. Kedua adalah biaya sinking fond, biaya ini disimpan dan dipakai di saat dibutuhkan seperti mengecat gedung, perbaikan listrik dan mengganti genset bila sudah tua dan tidak bisa beroperasi normal. Setiap bulan PPRS di Taman Sari memungut biaya sebesar Rp 9.000 per meter persegi (m2). Untuk unit yang ukuran 28 m2 mereka harus membanyar Rp 252.000 per bulan dan untuk ukran 50 m2 harus membayar Rp 450.000 per bulan. "Biaya pengelolaan ini rata-rata per tahun naik 10%, disesuaikan dengan kebutuhan pengelolaan," ujar Nawir. Namun, biaya air dan listrik yang masuk ke dalam unit ditanggung sendiri oleh penghuni. "Tiap unit mempunyai meteran tersendiri," tambah Nawir. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: