KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) kembali menekan pasar nilai tukar. Solidnya
greenback sejalan dengan perkembangan teranyar arah suku bunga hingga probabilitas Donald Trump menjadi Presiden AS. Research & Development Trijaya Pratama Futures, Alwi Assegaf mengamati, dolar AS saat ini bertahan pada level tertinggi dalam dua setengah bulan pada hari Selasa (22/10). Dolar AS terus menguat dengan indeks dolar mencapai level 103,87, setelah menyentuh 104,02 pada hari Senin, yang merupakan level tertinggi sejak 1 Agustus. Alwi menilai, penguatan dolar AS didukung oleh ekspektasi bahwa The Fed akan melakukan penurunan suku bunga secara bertahap. Federal Reserve menyatakan akan mengambil pendekatan hati-hati dalam penurunan suku bunga.
Berdasarkan alat CME FedWatch, pasar memperkirakan peluang sebesar 87% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) bulan November, dibandingkan dengan 50% peluang sebulan sebelumnya ketika investor melihat kemungkinan pemotongan sebesar 50 bps. Pelaku pasar juga memperkirakan penurunan suku bunga tambahan sebesar 40 bps untuk sisa tahun ini.
Baca Juga: Mata Uang Asia Diperkirakan Volatile Hingga Akhir Tahun 2024 Selain itu, kampanye pemilihan presiden AS yang semakin ketat menambah ketegangan di kalangan investor. Meningkatnya peluang terpilihnya kembali Donald Trump dalam pemilihan presiden AS, dapat menjaga suku bunga AS tetap tinggi melalui kebijakan tarif dan pajak yang diusulkannya. Namun, Alwi berujar, dengan jarak waktu dua minggu menjelang pemilihan, hasil pemilu AS masih terlalu ketat untuk diprediksi. Sehingga, analis memperkirakan volatilitas pasar akan meningkat seiring investor memposisikan diri menjelang hasil pemilu. Ekspektasi terhadap kebijakan pelonggaran yang tidak terlalu agresif oleh The Fed, serta kekhawatiran mengenai potensi peningkatan pengeluaran defisit setelah pemilihan presiden AS pada 5 November, mendukung tetap tingginya imbal hasil obligasi AS. Imbal hasil obligasi 10 tahun AS naik ke level tertinggi sejak 26 Juli di angka 4,22%. "Kekuatan dolar yang didukung oleh kenaikan imbal hasil obligasi AS, menekan mata uang yen, euro, dan poundsterling. Tren ini telah berkembang dalam beberapa pekan terakhir seiring dengan berkurangnya ekspektasi para pelaku pasar terhadap penurunan suku bunga yang cepat oleh The Fed," ungkap Alwi dalam risetnya, Selasa (22/10).
Baca Juga: Pasar Ragukan Pemangkasan Suku Bunga The Fed, Begini Prediksi Rupiah Rabu (23/10) Alwi menuturkan, pasar kini menantikan pidato Presiden Fed Philadelphia, Patrick Harker, untuk mendapatkan petunjuk tambahan. Sebelumnya, empat pejabat The Fed di awal pekan ini menyatakan dukungan untuk pemotongan suku bunga lebih lanjut, namun masih berbeda pandangan mengenai seberapa cepat dan seberapa jauh pemotongan itu akan terjadi.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo turut melihat bahwa penguatan dolar AS belakangan ini dipengaruhi suku bunga obligasi yang tinggi dan data ekonomi Amerika yang kuat. Dolar juga terus menguat sejalan dengan prospek terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden AS. "Beberapa pernyataan
hawkish The Fed dan pemangkasan suku bunga yang lebih kecil turut mendukung dolar. Kalau dari sentimen konflik geopolitik, dolar diuntungkan karena statusnya sebagai aset lindung nilai (
safe haven)," ujar Sutopo kepada Kontan.co.id, Selasa (22/10). Menurut Sutopo, dolar masih berpotensi menguat terbatas saat ini, sebelum koreksi kembali ke kisaran 102,00 di akhir tahun 2024. Sementara itu, rupiah diperkirakan bakal melemah ke kisaran Rp 15.700 per dolar AS di akhir tahun yang kemungkinan terpapar sentimen belum agresifnya The Fed memangkas suku bunga. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Putri Werdiningsih