Penguatan Hanya Sesaat, Rupiah Lebih Bergantung pada Nasib Perekonomian China



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Penguatan kurs rupiah di tengah kekhawatiran resesi Amerika Serikat (AS) dipandang hanya bersifat semu. Arah mata uang garuda dinilai lebih bergantung pada nasib perekonomian Tiongkok.

Pengamat Mata Uang Lukman Leong mencermati, rupiah menguat terhadap dolar AS di tengah sentimen risk-on di pasar saham yang berbalik menguat (rebound) karena aksi bargain hunting. Mengutip Bloomberg, Selasa (6/8), rupiah spot menguat sekitar 0,15% ke level Rp 16.164 per dolar AS, sementara IHSG menghijau atau naik 0,99% ke level 7.129.215.

Namun demikian, penguatan kurs rupiah cukup terbatas karena masih tingginya volatilitas dan ketidakpastian. Aksi sell off di pasar kemarin dipandang tidak cukup meyakinkan isu resesi Amerika yang muncul tiba-tiba dan tidak memiliki dasar yang kuat.


Baca Juga: Rupiah Ditutup Menguat Pada Selasa (6/8), Simak Proyeksinya untuk Rabu (7/8)

Laporan Non Farm Payroll (NFP) bulanan AS menunjukkan pertumbuhan pekerjaan turun menjadi 114.000 pada Juli dari 179.000 pada Juni. Sementara itu, tingkat pengangguran AS naik menjadi 4,3% pada Juli 2024.

“Apabila investor melihat dari angka NFP, sebenarnya dengan penambahan pekerjaan di atas 100 ribu dengan posisi suku bunga 5%, tidaklah begitu buruk. Jadi saya tidak melihat akan adanya resesi di AS, mungkin perlambatan ekonomi seperti juga China,” jelas Lukman saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (6/8).

Menurut Lukman, ekonomi China lebih memengaruhi Indonesia dan kawasan regional ketimbang ekonomi Amerika Serikat. Sehingga, semuanya akan berbalik normal, dimana the Fed diproyeksi akan memangkas paling tidak 3 kali masing-masing 25bps hingga akhir tahun 2024.

Baca Juga: AS Dibayangi Resesi, Rupiah Diramal Bisa ke Rp 15.500 di Akhir 2024

Tekanan dolar AS terhadap rupiah bakal mereda, namun masih perlu mewaspadai data-data ekonomi China yang lemah akhir-akhir ini. Pekan lalu, rilis data aktivitas manufaktur China mengalami kontraksi untuk bulan ketiga berturut-turut pada Juli 2024 yang memberikan sinyal pelemahan ekonomi.

Selain itu, lanjut Lukman, kebijakan Bank of Japan (BoJ) juga telah menciptakan volatilitas di pasar. Faktor lainnya yang juga berpengaruh bagi pasar mata uang adalah konflik di Timur Tengah yang masih memanas.

Alhasil, Lukman melihat, rupiah berpotensi cenderung sedikit menguat di kisaran Rp 16.000 per dolar AS hingga akhir 2024. Penguatan nilai tukar rupiah masih bisa lebih tinggi apabila kondisi ekonomi China tidak memburuk dan kondisi Timur Tengah bisa lebih mereda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih