KONTAN.CO.ID - NUSA DUA. WWF Indonesia menilai perang dagang yang terjadi di minyak nabati antara kelapa sawit dan
vegetable oil lainnya tidak akan menyelesaikan masalah. Untuk menangkal hal itu, WWF Indonesia mendorong kampanye positif yang terus dilakukan serta mendorong penguatan serta sertifikasi dalam Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO). Director of Policy, Sustainability and Transformation WWF Indonesia Aditya Bayunanda mengatakan, untuk merespons perang dagang atau kampanye negatif dari Uni Eropa (UE), Indonesia harus mendorong sertifikasi. "Kita tidak perlu panik dan emosi. Karena ini dalam proses dan kita sedang mengambil langkah-langkah,” ujarnya dalam Konferensi Pers pembukaan ICOPE 2018, di Nusa Dua, Bali, Rabu (25/4).
Aditya melanjutkan, gencarnya kampanye negatif yang dilakukan UE terhadap kelapa sawit Indonesia bisa ditangkal dengan penguatan peran ISPO. Menurutnya, ISPO bisa menampilkan citra positif industri kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan. “Fakta-fakta ini perlu terus dikampanyekan,” ujarnya. Daud Dharsono, CEO Sinar Mas Agribusiness and Food, juga menanggapi bagaimana mengatasinya kampanye negative yang dilakukan terhadap kelapa sawit Indonesia. Industry sawit perlu bersatu dengan peneliti, NGO, memikirikan kampanye positif dari kelapa sawit. “Bahwa kelapa sawit itu paling efisien, paling produktif, dan lainnya. Kampanye harus dilakukan secara sistematis, secara massif, dan berdasarkan basis ilmiah. Kampanye positif harus didukung pemerintah, NGO, juga didukung lembaga riset,” ujarnya. Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan pemerintah akan mengambil langkah diplomasi yang keras jika perundingan dagang terkait kampanye negative Eropa terhadap kelapa sawit Indonesia berjalan terhambat. “Ancaman itu sudah lama, jadi jangan dianggap baru. Kita tentu mulai dari cara meyakinkan, sampai hal-hal yang kita bisa rundingkan dengan cara baik-baik. Kalau itu berjalan, bagus. Kalau tidak, kita akan ambil jalan untuk bargaining yang lebih keras,” ucapnya. Darmin menilai UE sebenarnya tidak bisa mengkambinghitamkan kelapa sawit. “Kita menggunakan lahan yang sudah ditebang sejak 30-60 tahun yang lalu. Kalau tidak ditanami kelapa sawit, hancur tanahnya. Dengan adanya tanaman yang produktivitasnya sangat tinggi ini, sebetulnya ini lebih menjamin pemenuhan kebutuhan dunia terhadap minyak nabati dan turunannya. Sehingga tidak bisa secara logika, tidak bisa ditinggalkan (kelapa sawit) karena paling produktif,” ujarnya.
Karena itu, Darmin menyoroti ajang International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) 2018 yang bertujuan positif guna membuat solusi bersama terkait industri kelapa sawit yang berkelanjutan. “Acara ini menarik karena dalam acara ini duduk bersama-sama, pekebun, aktivis, pemilik kebun kelapa sawit, bersama-sama dengan environmentalist, bersama-sama dengan para pakar, yang mungkin mendukung ataupun mungkin agak kritis kepada kelapa sawit. Tapi justru karena kedatangannya itu, acara ini menjadi menarik sehingga dialog dan diskusi mereka di dalamnya akan membawa dampak, bukan hanya dampak berdiskusi tapi saling memahami. Pada akhirnya, solusi itu kerjasama, bukan saling bertahan di posisi masing-masing. Saya kira itu yang paling penting,” paparya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia