JAKARTA. Poundsterling kembali melemah. Sentimen negatif membayangi mata uang Inggris setelah ada sentimen negatif Market Economics dan Chartered Institute of Purchasing and Supply menunjukkan manufaktur Inggris turun menjadi 45,9 pada bulan Mei. Ini merupakan pertama kalinya tahun ini indeks tersebut di bawah level 50 atau level kontraksi.Sterling juga melemah setelah pernyataan British Chambers of Commerce memprediksi ekonomi Inggris akan sulit ekspansi tahun ini. Badan tersebut memprediksi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Inggris tahun ini hanya akan tumbuh 0,1%. Rendahnya pertumbuhan ini diakibatkan krisis utang zona euro yang melukai permintaan terhadap produk negeri Ratu Elizabeth II tersebut.“Dengan kondisi partner dagang kami yang sedang resesi, kita akan memasuki tahun yang sulit dengan sedikit sekali tanda-tanda untuk pulih,” kata Andy Scott, Acccount Manager HiFX, seperti dikutip Bloomberg akhir pekan lalu (1/6). Rendahnya pertumbuhan membuat kemungkinan besar akan dilakukan stimulus moneter. Dia menduga, risiko sterling turun di bawah US$ 1,50 cukup besar.Akhir pekan lalu (1/6), sterling turun 0,3% terhadap dollar menjadi US$ 1,5269 yang merupakan level terendahnya sejak 13 Januari 2011. Sterling juga terdepresiasi 0,5% terhadap yen menjadi 120,06 yen per poundsterling. Terhadap euro juga mengalami penurunan 0,4% menjadi 80,60 pence per euro.Berdasarkan Bloomberg Correlation-Weighted Indexes dari 10 mata uang negara maju, poundsterling telah menguat 2% tahun ini dan merupakan mata uang terbaik kedua setelah dollar AS. The greenback telah menguat 3,4% tahun ini.Penguatan mata uang sterling lebih didorong akibat kondisi eropa yang semakin parah. Para investor berbondong-bondong keluar dari zona euro dan melirik investasi di Inggris yang kondisinya sedikit lebih baik. Hal ini membuat obligasi pemerintah Inggris naik dan menekan imbal hasil atau yield di bawah 3%.Obligasi tenor 10 tahun naik setelah Menteri Ekonomi Spanyol Luis de Guindos mengatakan masa depan euro sedang dipertaruhkan di Italia dan Spanyol. Mohit Kumar, Head of European Interest Rate Strategy Deutsche Bank AG, mengatakan yield obligasi yang rendah ini hanya bisa dijelaskan sebagai dampak pengalihan risiko (risk aversion) di pasar. "Permasalahan krisis utang euro tidak memberikan tanda-tanda adanya solusi,” ujar dia seperti dikutip Bloomberg.Kumar menambahkan, obligasi menjadi mahal namun selama kekhawatiran terhadap krisis utang terus berlangsung. "Yield masih bisa kembali turun,” ujar dia akhir pekan lalu. Yield obligasi 10 tahun turun lima basis poin atau 0,05% point menjadi 1,52%Permintaan investor terhadap yield obligasi 10 tahun dibanding obligasi dua tahun turun menjadi 1,27%. Penurunan spread ini menandakan para pelaku dagang (trader) memprediksi inflasi akan melambat.Analis yang dihubungi Kontan akhir pekan lalu (1/6) sepakat jangka waktu panjang sterling masih akan melemah. Akibat, ekspektasi bank sentral memberi stimulus moneter ditambah data manufaktur buruk. Namun dalam waktu dekat, sterling berpeluang menguat akibat sentimen dari zona euro dan Amerika.Beberapa data yang patut diperhatikan diantaranya, pada 6 Juni European Central Bank akan melakukan pertemuan dan diekspektasi akan memangkas suku bunga. Di tanggal 7 Juni akan ada pertemuan Federal Reserve dan pelaku pasar berharap Ben Bernanke akan memberikan pernyataan tentang kemungkinan dilakukan stimulus moneter setelah melihat rilis nonfarm payroll bulan Mei yang hanya naik 69.000, seperti dinyatakan Departemen Tenaga Kerja Jumat malam (1/6). Jika semua berjalan sesuai ekspektasi, para analis menduga sterling bisa menguat, walau terbatas.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Penguatan Sterling terbatas
JAKARTA. Poundsterling kembali melemah. Sentimen negatif membayangi mata uang Inggris setelah ada sentimen negatif Market Economics dan Chartered Institute of Purchasing and Supply menunjukkan manufaktur Inggris turun menjadi 45,9 pada bulan Mei. Ini merupakan pertama kalinya tahun ini indeks tersebut di bawah level 50 atau level kontraksi.Sterling juga melemah setelah pernyataan British Chambers of Commerce memprediksi ekonomi Inggris akan sulit ekspansi tahun ini. Badan tersebut memprediksi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Inggris tahun ini hanya akan tumbuh 0,1%. Rendahnya pertumbuhan ini diakibatkan krisis utang zona euro yang melukai permintaan terhadap produk negeri Ratu Elizabeth II tersebut.“Dengan kondisi partner dagang kami yang sedang resesi, kita akan memasuki tahun yang sulit dengan sedikit sekali tanda-tanda untuk pulih,” kata Andy Scott, Acccount Manager HiFX, seperti dikutip Bloomberg akhir pekan lalu (1/6). Rendahnya pertumbuhan membuat kemungkinan besar akan dilakukan stimulus moneter. Dia menduga, risiko sterling turun di bawah US$ 1,50 cukup besar.Akhir pekan lalu (1/6), sterling turun 0,3% terhadap dollar menjadi US$ 1,5269 yang merupakan level terendahnya sejak 13 Januari 2011. Sterling juga terdepresiasi 0,5% terhadap yen menjadi 120,06 yen per poundsterling. Terhadap euro juga mengalami penurunan 0,4% menjadi 80,60 pence per euro.Berdasarkan Bloomberg Correlation-Weighted Indexes dari 10 mata uang negara maju, poundsterling telah menguat 2% tahun ini dan merupakan mata uang terbaik kedua setelah dollar AS. The greenback telah menguat 3,4% tahun ini.Penguatan mata uang sterling lebih didorong akibat kondisi eropa yang semakin parah. Para investor berbondong-bondong keluar dari zona euro dan melirik investasi di Inggris yang kondisinya sedikit lebih baik. Hal ini membuat obligasi pemerintah Inggris naik dan menekan imbal hasil atau yield di bawah 3%.Obligasi tenor 10 tahun naik setelah Menteri Ekonomi Spanyol Luis de Guindos mengatakan masa depan euro sedang dipertaruhkan di Italia dan Spanyol. Mohit Kumar, Head of European Interest Rate Strategy Deutsche Bank AG, mengatakan yield obligasi yang rendah ini hanya bisa dijelaskan sebagai dampak pengalihan risiko (risk aversion) di pasar. "Permasalahan krisis utang euro tidak memberikan tanda-tanda adanya solusi,” ujar dia seperti dikutip Bloomberg.Kumar menambahkan, obligasi menjadi mahal namun selama kekhawatiran terhadap krisis utang terus berlangsung. "Yield masih bisa kembali turun,” ujar dia akhir pekan lalu. Yield obligasi 10 tahun turun lima basis poin atau 0,05% point menjadi 1,52%Permintaan investor terhadap yield obligasi 10 tahun dibanding obligasi dua tahun turun menjadi 1,27%. Penurunan spread ini menandakan para pelaku dagang (trader) memprediksi inflasi akan melambat.Analis yang dihubungi Kontan akhir pekan lalu (1/6) sepakat jangka waktu panjang sterling masih akan melemah. Akibat, ekspektasi bank sentral memberi stimulus moneter ditambah data manufaktur buruk. Namun dalam waktu dekat, sterling berpeluang menguat akibat sentimen dari zona euro dan Amerika.Beberapa data yang patut diperhatikan diantaranya, pada 6 Juni European Central Bank akan melakukan pertemuan dan diekspektasi akan memangkas suku bunga. Di tanggal 7 Juni akan ada pertemuan Federal Reserve dan pelaku pasar berharap Ben Bernanke akan memberikan pernyataan tentang kemungkinan dilakukan stimulus moneter setelah melihat rilis nonfarm payroll bulan Mei yang hanya naik 69.000, seperti dinyatakan Departemen Tenaga Kerja Jumat malam (1/6). Jika semua berjalan sesuai ekspektasi, para analis menduga sterling bisa menguat, walau terbatas.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News