Pengumpul dana



Lima tahun lalu teman saya menawarkan ziarah ke tanah suci dengan harga luar biasa miring. Katakanlah standar paket perjalanan Rp 20-an juta, sementara paket yang dia tawarkan hanya belasan juta. Ada selisih sekitar Rp 10 juta!
 
Tapi saya mulai curiga, jangan-jangan paket murahnya itu ada apa-apa. Sebagai sales yang baik, tentu saja teman itu meyakinkan saya bahwa paket ziarah itu betul seperti yang dijanjikan. Ia mencoba meyakinkan lebih jauh dengan mengatakan bisnis travel lain mengambil untung sangat besar, makanya travelnya bisa memberi harga miring.
 
Terus terang saya sempat tergoda. Sampai akhirnya, saya merasa ada yang salah waktu mendengar tour agent itu menawarkan pembayaran dengan cicilan. Setelah menyetor iuran 11 bulan, baru di bulan 12 peserta berhak berangkat. Betul saja, beberapa bulan kemudian orang-orang mulai ramai karena tak jadi berangkat. Tak lama kemudian kantor travel itu pun diam-diam tutup dan para karyawannya 'raib'.
 
Banyak orang yang tak menyadari perjalanan-perjalanan rohani itu adalah bisnis yang besar. Lihat saja, untuk yang datanya jelas terkumpul, ada 221.000 peserta haji dan 875.000 jamaah umrah di tahun 2017. Artinya, dengan hitungan kasar perjalanan haji dan umrah membawa potensi omzet Rp 25 triliun!
 
Jadi kalau ada yang bertanya, kapan penipuan yang berkedok bisnis ziarah agama ini akan berakhir? Saya rasa masih akan butuh waktu panjang, kecuali pemerintah mau bersikap tegas. Bayangkan, untuk perjalanan umrah saja, ada 912 perusahaan yang mengantongi izin Kementerian Agama. Saya rasa akan sangat sulit bagi Kementerian Agama mengawasi kenakalan pengusaha travel tersebut.
 
Sayangnya saya tak ada data peziarah dengan tujuan lain, tapi bisa dipastikan ini bisnis besar. Sadarilah perusahaan travel itu bukan bank yang diwajibkan oleh otoritas untuk menyetor modal ratusan miliar bahkan triliunan. Mereka adalah perusahaan travel dengan keahlian membuat paket perjalanan yang menyenangkan, mereka bukan orang yang pintar mengelola portofolio investasi.
 
Jalan pintas menyelesaikan masalah ini adalah mengaktifkan kembali sebuah pasal dalam UU Perbankan yang sudah lama terabaikan. Pasal itu bisa menjerat siapa pun yang menghimpun dana masyarakat tanpa izin Menteri Keuangan atau Bank Indonesia dengan hukuman pidana. Siapapun otoritas yang ditugasi, tanpa "polisinya" penipuan akan terus langgeng di bumi ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi