Pengusaha batubara terbelah soal pintu ekspor



JAKARTA. Rencana pemerintah mengeluarkan peraturan yang menetapkan 14 pelabuhan khusus untuk ekspor batubara menuai kontroversi. Meskipun, keinginan pemerintah menunjuk tujuh pelabuhan di Pulau Sumatera dan tujuh pelabuhan di Kalimantan sebagai pintu keluar ini sejatinya punya tujuan bagus, menertibkan pencatatan ekspor batubara dari Indonesia. Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengatakan, asosiasi mendukung rencana pemerintah ini. Ia yakin kebijakan ini bisa menekan maraknya penjualan batubara ilegal ke luar negeri. "Pelabuhan ekspor harus diatur ketat oleh pemerintah, karena peredaran batubara ilegal yang tidak jelas asal usul tambangnya masih sangat banyak," kata dia kepada KONTAN, Selasa (3/6).APBI menilai, maraknya batubara ilegal yang beredar di pasar ekspor menjadi satu biang keladi turunnya harga jual batubara di pasar global. Perbedaan data produksi dan ekspor yang dicatat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan selisih cukup fantastis, yakni sekitar 60 juta ton per tahun bisa menjadi bukti. Menurutnya, perusahaan batubara yang bergabung di APBI tidak keberatan memindahkan pintu keluar sesuai dengan pelabuhan yang diharuskan pemerintah. Namun, ia memberi saran, bila ada pelabuhan yang tidak mampu menampung kapasitas batubara siap ekspor, pemerintah harus mengevaluasi. Salah satu solusinya menetapkan pelabuhan lain di lokasi terdekat agar tidak terjadi antrean.Leksono Poeranto, Direktur PT Indo Tambang Raya Megah Tbk (ITMG) mengatakan, lima anak usahanya masing-masing memiliki pelabuhan untuk transportasi ekspor batubara yang berlokasi di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Ia yakin, pemerintah akan arif dalam menentukan titik-titik tersebut," kata dia.Anak usaha emiten tambang berkode saha, ITMG ada empat. Mereka memegang konsesi perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Mereka adalah PT Indominco Mandiri, PT Jorong Barutama Greston, PT Trubaindo Coal Mining, PT Bharinto Ekatamana, serta satu pemegang izin usaha pertambangan (IUP) PT Kitadin. Pada 2014 ini, mereka berencana memproduksi batubara sejumlah 29 juta ton.Selain membatasi pintu keluar untuk ekspor, Leksono meminta Kementerian ESDM aktif berkoordinasi dengan penegak hukum untuk memberantas aktivitas penambangan batubara ilegal.Rugikan penambang kecilSementara, Ekawahyu Kasih, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) menilai, kebijakan penetapan pintu keluar akan berdampak buruk bagi perusahaan batubara, terutama penambang skala kecil. "Kalau pemerintah mau menertibkan pembayaran royalti, seharusnya persyaratan dokumen ekspor yang diperketatm bukan membatasi jumlah pelabuhan untuk ekspor," ujar dia.Sekadar mengingatkan, saat ini, ada 54 PKP2B yang telah memasuki tahapan produksi. sedangkan IUP operasi produksi mencapai 998 perusahaan. Pada 2013 lalu, jumlah produksi batubara mencapai 421 juta ton dengan volume ekspor 349 juta ton dan pasar domestik 72 juta ton.Rata-rata perusahaan besar memiliki pelabuhan sendiri dengan kapasitas mencapai lebih dari 20 juta ton per tahun, sedangkan penambang kecil umumnya menggunakan menggunakan pelabuhan milik pemerintah ataupun pelabuhan bersama yang kapasitasnya 1 juta ton per tahun. "Jumlah pelabuhan batubara yang beroperasi di Indonesia lebih dari 130 pelabuhan, baik kapasitas skala besar maupun kecil," ujar Ekawahyu.Sedangkan General Manager Exploration PT Bhakti Coal Resources Waskito Tanuwijoyo menilai, memindahkan lokasi pelabuhan batubara bukan hal mudah. Para pengusaha harus menghitung jarak tempuh karena mempengaruhi ongkos transportasi.Belum lagi, kendala keterbatasan kapasitas pelabuhan bisa menyebabkan antrean panjang. Kondisi ini akan menambah biaya sewa angkutan, terutama dari tambang menuju ke pelabuhan ekspor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Yudho Winarto