JAKARTA. Keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% terhadap komoditi primer terutama yang tidak terintegrasi hulu dengan hilir berbuntut panjang. Selain industri kakao, eksportir produk segar lain seperti kopi dan karet turut mengeluhkannya. Dewan Penasihat Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI) Moenardji Soedargo mengatakan, untuk dapat melakukan ekspor, eksportir harus memiliki ekstra modal. "Teman-teman lagi pusing sekarang. Ini mau kerjanya gimana. Modalnya segini, mungkin kalau untuk anggarkan bayar PPN, mungkin rencana kerjanya mungkin kita kurangi," kata Moenarji, Kamis (14/8). Menurut perhitungan Moenarji, bila rata-rata ekspor kopi Indonesia mencapai US$ 1,5miliar per tahun, maka dana yang harus disiapkan oleh eksportir setidaknya mencapau US$ 150 juta. Hal senada juga terjadi pada produk karet. Bila rata-rata ekspor mencapai US$ 6 miliar per tahun, maka dana tambahan yang harus dipersiapkan mencapai US$ 600 juta.
Pengusaha bereaksi atas pengenaan PPN 10%
JAKARTA. Keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% terhadap komoditi primer terutama yang tidak terintegrasi hulu dengan hilir berbuntut panjang. Selain industri kakao, eksportir produk segar lain seperti kopi dan karet turut mengeluhkannya. Dewan Penasihat Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI) Moenardji Soedargo mengatakan, untuk dapat melakukan ekspor, eksportir harus memiliki ekstra modal. "Teman-teman lagi pusing sekarang. Ini mau kerjanya gimana. Modalnya segini, mungkin kalau untuk anggarkan bayar PPN, mungkin rencana kerjanya mungkin kita kurangi," kata Moenarji, Kamis (14/8). Menurut perhitungan Moenarji, bila rata-rata ekspor kopi Indonesia mencapai US$ 1,5miliar per tahun, maka dana yang harus disiapkan oleh eksportir setidaknya mencapau US$ 150 juta. Hal senada juga terjadi pada produk karet. Bila rata-rata ekspor mencapai US$ 6 miliar per tahun, maka dana tambahan yang harus dipersiapkan mencapai US$ 600 juta.