KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan energi terbaru dan terbarukan di Indonesia masih cukup menantang. Pasalnya, pelaku usaha yang bergerak di bidang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap masih keberatan dengan aturan main terkini. Beleid yang dimaksud adalah Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PLN. Salah satu poin yang dipermasalahkan ada di pasal 14 ayat 2 terkait pengenaan biaya kapasitas
(capacity charge) dan biaya pembelian energi listrik darurat untuk pemasangan PLTS Atap bagi konsumen dari golongan tarif industri.
Baca Juga: Harga batubara naik 2,27%, APBI: Belum menjadi tanda rebound Biaya kapasitas tersebut merujuk pada Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2017. Dalam aturan tersebut, biaya kapasitas dihitung berdasarkan total daya mampu netto pembangkit dikali waktu 40 jam (batas beban minimum listrik menyala dalam satu bulan) kemudian dikali tarif tenaga listrik. Sebenarnya, aturan yang tertera dalam pasal 14 tadi sudah direvisi dalam Permen ESDM Nomor 16 Tahun 2019 yang disahkan pertengahan Oktober lalu. Kini, konsumen PLTS Atap dari golongan industri hanya dikenai biaya kapasitas yang dibayar setiap bulan. Di sisi lain, konsumen dari golongan industri tak lagi dikenai biaya pembelian energi listrik darurat.
Baca Juga: Harga batubara naik 2,27%, APBI: Belum menjadi tanda rebound Selain itu, terdapat perubahan dalam formula penghitungan biaya kapasitas pemasangan PLTS Atap. Tadinya, batas beban minimum listrik menyala dalam satu bulan ditetapkan sebesar 40 jam. Kini, angka tersebut berkurang jadi 5 jam. Kendati demikian, perubahan tersebut belum sepenuhnya memuaskan. Kukuh Kurniawan, CEO RND Kapital yang membawahi PT ASCO Prima Surya, perusahaan pengelola aset sistem panel surya, masih mempertanyakan esensi pemberian biaya kapasitas pemasangan PLTS Atap. “Pemerintah tidak pernah menjelaskan secara detail untuk apa biaya kapasitas itu diberikan,” katanya ketika dihubungi Kontan, Selasa (5/11).
Baca Juga: Pemerintah Indonesia berharap India tetap masuk dalam RCEP Padahal, pihaknya berusaha membantu program pemerintah yang mengejar target tercapainya 23% penggunaan energi terbarukan pada tahun 2025 nanti. Dia pun menyebut, idealnya pengenaan biaya kapasitas tersebut dihapus oleh pemerintah. Dengan adanya pembebanan biaya kapasitas pemasangan PLTS Atap, maka potensi penghematan biaya yang diterima pemilik aset menjadi berkurang. “Tingkat pengembalian investasi pemasangan PLTS Atap juga menjadi lebih lama,” imbuhnya. Hitungan Kukuh, ketika beban minimum pemakaian listrik masih ditetapkan sebanyak 40 jam, maka pengembalian modal pemasangan PLTS Atap butuh waktu sekitar 11 tahun. Angka ini berkurang menjadi 8-9 tahun jika beban minimum pemakaian listrik menggunakan ketentuan yang baru yakni 5 jam.
Baca Juga: Pemerintah menargetkan pembangunan jalan tol sepanjang 2.500 km hingga 2024 Editor: Handoyo .