KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan pelaku usaha tengah berupaya mengurai benang kusut yang membelit industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Selain gempuran produk impor dan produk ilegal, sulitnya akses permodalan menjadi bagian dari persoalan yang dihadapi oleh pengusaha di industri TPT. Mengutip pemberitaan Kontan.co.id, PT Mayer Indah Indonesia sebagai salah satu perusahaan di sektor TPT membeberkan persoalan tersebut saat menemui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
General Manager PT Mayer Indah Indonesia, Melisa Suria mengungkapkan sejak awal September hingga Desember, pihaknya telah mendatangi lebih dari 20 bank untuk mengajukan pinjaman modal kerja.
Namun, bank menolak memberikan pembiayaan, lantaran menilai industri tekstil sudah berisiko tinggi untuk diberikan pembiayaan. "Semua menolak, intinya karena industri tekstil itu di lampu oranye atau lampu merah. Dalam artian sangat tidak di-consider untuk diberikan kredit atau bantuan kredit," ujar Melisa di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa (23/12).
Baca Juga: Waspadai Ucapan Natal Palsu, BNI Imbau Nasabah Tidak Sembarangan Klik Tautan Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengamini akses permodalan atau kredit perbankan menjadi salah satu kendala yang dihadapi pengusaha di industri TPT. Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi mengungkapkan saat ini perbankan masih menganggap industri tekstil sebagai sektor yang riskan. Sekali pun berhasil mendapatkan kredit, bunga pinjamannya bisa mencapai 10% - 13%. "Ini termasuk tinggi bagi kami. Padahal saat ini, industri tekstil sedang transisi ke arah
sustainability sehingga perlu bantuan dari perbankan," kata Farhan saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (24/12/2025). Menjelang pergantian tahun, Farhan mengatakan bahwa 2026 bakal menjadi tahun yang krusial bagi kelanjutan usaha sejumlah perusahaan di hulu tekstil. Dus, APSyFI meminta adanya dukungan dari sisi permodalan dalam bentuk bunga yang lebih kompetitif bagi keberlangsungan bisnis perusahan TPT. "Tahun 2026 akan menjadi penentuan dan krusial bagi sejumlah perusahaan untuk dapat bertahan di periode yang akan datang. Kami ingin membahas mengenai kredit dengan bunga pinjaman yang rendah dengan pemerintah dan perbankan," terang Farhan. Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) menyoroti berbagai kendala yang menerpa industri TPT nasional merupakan akumulasi dari sederet faktor. Termasuk akibat kebijakan pemerintah yang seringkali inkonsisten dan kurang mendukung iklim industri yang efisien dengan adanya berbagai hambatan usaha (
bottlenecking). Padahal, industri TPT menghadapi persaingan yang sengit dengan produk dari negara lain, baik untuk pasar ekspor maupun di pasar domestik. Tanpa adanya dukungan dari pemerintah dan lembaga terkait, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), industri TPT nasional bakal sulit mengejar ketertinggalan dengan negara pesaing lainnya. Apalagi, pelaku industri juga mesti menghadapi kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2026 yang rata-rata mencapai 6% - 7%. Anne bilang, kondisi ini akan membebani para pengusaha apabila kenaikan upah tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi biaya. "Kami juga minta pemerintah bantu dengan penambahan efisiensi di aturan, jangan overlapping, jangan ada sertifikasi berlebih. Ujungnya kan cost itu akumulasi dari berbagai biaya, bukan hanya upah," kata Anne.
Bukan Industri Sunset
Secara prospek usaha, Anne membantah bahwa industri TPT merupakan industri yang sedang tenggelam (sunset). Namun, Anne tak menampik kinerja TPT nasional berada dalam tren menukik selama hampir tiga dekade terakhir. "Dulu tahun 1980-an industri ini sangat berjaya, bahkan banyak negara yang menjadikan Indonesia sebagai tolok ukur (benchmarking). Pada masa itu TPT menjadi salah satu industri strategis, karena ditekankan tentang kemandirian sandang," ungkap Anne. Anne membeberkan kinerja industri TPT Indonesia tertinggal dari sejumlah negara Asia seperti China, Bangladesh, Vietnam, India, Pakistan, bahkan tersalip oleh Kamboja. Anne mencontohkan pada tahun 2024, nilai ekspor tekstil Vietnam menembus US$ 44 miliar dan Bangladesh mencapai US$ 38,48 miliar. Pada saat yang sama, nilai ekspor tekstil Indonesia hanya menyentuh US$ 11,9 miliar. "Jadi sebenarnya secara bisnis (industri TPT) masih sangat prospektif. Negara lain bisa naik tajam. Kalau kita mau berbenah, prospeknya pasti bagus juga," kata Anne. Selain pembenahan di dalam negeri, Anne menyarankan agar pemerintah melakukan benchmarking ke negara lain. Contohnya ke Vietnam yang sukses melakukan efisiensi rantai pasok dan integrasi investasi. Indonesia juga perlu benchmarking ke China, Thailand, dan Korea Selatan yang memiliki sistem retail modern dan digitalisasi pasar sebagai acuan pengembangan industri hilir. Selain itu, benchmarking perlu dilakukan untuk best practice dari sisi penyederhaan regulasi. "Misalnya ongkos perizinan tolong dibandingkan dengan Vietnam atau negara lainnya. Mungkin ada banyak ongkos yang tidak perlu dikeluarkan oleh pengusaha di Vietnam, Kamboja, Bangladesh, India dan China. Padahal berkompetisinya dengan mereka, jadi industri kita kan harus kompetitif," ungkap Anne. Anne juga mendorong agar berbagai insentif dan kemudahan dari pemerintah tidak hanya diberikan kepada Penanaman Modal Asing (PMA) baru. Anne bilang, pengusaha lokal atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan PMA yang sudah lama beroperasi di Indonesia juga memerlukan dukungan serupa. "Boleh lah PMA yang baru dikasih "red carpet". Tapi tolong PMDN dan PMA yang sudah loyal di Indonesia juga diberi "gold carpet". Jadi kita perlu bechmarking ke negara lain sekaligus refleksi ke dalam," tandas Anne.
Baca Juga: Menakar Peluang dan Tantangan Pembiayaan Bioenergi di Tengah Transisi Energi Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News