Pengusaha hutan keluhkan biaya produksi yang naik



JAKARTA. Perusahaan pemegang konsesi pengusahaan hutan produksi mulai kesulitan berproduksi. Ongkos produksi serta pungutan kehutanan membuat pelaku usaha sulit untuk bertahan hidup.

Rahardjo Benjamin, Wakil Ketua Pengusaha Hutan Indonesia menyebut, biaya untuk usaha di hutan produksi terbilang tinggi. Alhasil, pemilik izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) jumlahnya mulai menyusut.

Ia mencontohkan, biaya pembiayaan iuran hak pengusaha hutan atau (HPH) untuk memperpanjang areal konsesi seluas 200.000 hektare biayanya mencapai Rp 35 miliar. Belum lagi pungutan kompensasi untuk masyarakat adat. Di Papua misalnya, kata Rahardjo bisa mencapai Rp 250.000/meter kubik.


“Kenaikan biaya menjadikan produksi tidak lagi menguntungkan,” kata Rahardjo, Selasa (29/4) kemarin. Alhasil, dari jumlah unit IUPHHK makin menyusut dari 292 unit menjadi 120-130 unit yang beroperasi.

Namun menurut Direktur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian Kehutanan, Awriya Ibrahim, kesulitan bisnis pengusaha hutan yang terjadi saat ini disebabkan dalam beberapa tahun terakhir realisasi tebang hutan terbilang rendah.

Jika potensi tebang hutan setiap tahunnya mencapai 14-17 juta kubik meter per tahun, namun yang bisa direalisasikan hanya sekitar 5 juta meter kubik per tahun.

“Kegiatan usaha harus diupayakan tetap menguntungkan sehingga kelestarian hutan produksi tetap bisa dipertahankan,” kata dia (29/4). Untuk itu, lanjut dia, pemerintah sedang mengkaji peluang untuk membuka keran ekspor kayu log atau bulat. Pembukaan ekspor diharapkan bisa mengatrol harga kayu bulat sehingga mengimbangi kenaikan ongkos produksi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan