KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja ekspor minyak kelapa sawit (
crude palm oil/CPO) sebagai salah satu komoditas unggulan Tanah Air, diproyeksikan akan menghadapi tantangan pada tahun 2026. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencermati bahwa produksi CPO yang sepanjang tahun ini mengalami stagnansi telah menjadi tantangan tersendiri. “Produksi dari dua negara produsen minyak kelapa sawit yaitu Indonesia dan Malaysia, stagnan. Sementara itu, tren permintaan meningkat,” ujar Ketua Umum GAPKI Eddy Martono kepada KONTAN, Kamis (25/12/2025) lalu.
Kendati begitu, berkat harga yang lebih terjangkau, ekspor sawit terpantau masih meningkat sepanjang tahun ini. Berdasarkan data Gapki, volume ekspor CPO sampai dengan Oktober 2025 naik menjadi 27,691 juta ton dari 24,837 juta ton pada periode yang sama tahun lalu.
Baca Juga: Industri Baja Nasional Masih Tertekan pada 2026, Impor Kuasai 55% Pasar Eddy menuturkan, peningkatan ini disebabkan oleh harga minyak sawit yang tidak terus menerus lebih tinggi dari harga minyak nabati lainnya. Bahkan, Eddy bilang, harga minyak sawit sudah di bawah harga minyak bunga matahari dan kedelai sejak bulan April lalu. “Kondisi ini berbeda dengan tahun 2024, yang mana harga minyak sawit lebih tinggi dari harga minyak nabati lainnya, sehingga ekspor turun,” imbuh dia. Menurut Eddy, stagnasi produksi berpotensi berlanjut hingga 2026. Kondisi ini dapat memicu kenaikan harga minyak sawit. Eddy juga menyoroti, Indonesia selain sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, juga merupakan konsumen terbesar. “Artinya, hal ini dapat mendorong inflasi,” ujarnya. Tak hanya itu, Gapki tak memungkiri, rencana penerapan mandatori biodiesel 50% (B50) menjadi sentimen pemberat ekspor CPO tahun 2026. Menurut Eddy, kondisi ini ditambah produksi yang stagnan kemungkinan besar akan mengurangi ekspor. “Karena tidak mungkin yang dikurangi adalah pasokan yang untuk kebutuhan dalam negeri,” ungkapnya.
Baca Juga: AS Bidik Akses Mineral Kritis Asal Indonesia, Ini Potensinya di Indonesia Secara keseluruhan, meskipun tak merinci angka, Gapki melihat ekspor CPO pada 2026 akan menurun atau setidaknya tak jauh berbeda dari 2025. Sebagai informasi, Gapki mencatat, total produksi CPO pada Januari–Oktober 2025 tercatat sebanyak 43,93 juta ton, naik dari 39,95 juta ton pada periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, total konsumsi minyak sawit dalam negeri tercatat sebesar 20,68 juta ton, meningkat tipis dari 19,64 juta ton pada periode yang sama tahun lalu. Dampak Penerapan Mandatori B50 Di sisi lain, Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) menegaskan peningkatan mandatori biodiesel dari B40 menjadi B50 berpotensi merugikan petani sawit. Hal ini karena Pungutan Ekspor (PE) dinaikkan, sedangkan beban ditanggung oleh petani dan pelaku usaha sawit yang patuh. Hal ini disebut berdampak langsung pada kesejahteraan petani sawit rakyat. “Jika penerapannya dipaksakan secara nasional, sementara sumber pendanaannya bertumpu pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), maka yang paling terdampak adalah petani sawit rakyat,” ujar Ketua POPSI Mansuetus Darto saat dihubungi KONTAN, Minggu (28/12/2025). Dengan begitu, lanjut Darto, dana BPDPKS yang seharusnya digunakan untuk peremajaan sawit rakyat, peningkatan produktivitas, dan penguatan petani berkelanjutan justru berpotensi makin terpinggirkan.
Baca Juga: API Desak Pemerintah Nego Tarif Resiprokal AS Lebih Rendah untuk Garmen dan Tekstil Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News