Pengusaha keluhkan kebijakan impor hortikultura



JAKARTA. Para importir mengeluhkan implementasi aturan impor produk hortikultura   yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 60/M-DAG/PER/9/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Pasalnya, kebijakan yang terbit September 2012 ini belum berjalan sesuai harapan.

Fasilitas pelabuhan yang belum memadai, seperti minimnya tempat colokan listrik atau steker listrik untuk mesin pendingin (refrigerator container) serta jumlah auditor untuk melakukan survei produk hortikultura di negara asal menjadi catatan para pelaku importasi.

"Bahkan di China, untuk mendapatkan auditor, kami harus menunggu hingga 21 hari," kata sumber KONTAN yang tidak mau disebutkan identitasnya. Padahal untuk melakukan inspeksi, importir harus membayarkan mahal yakni sekitar US$ 325 per dokumen produk.


Setelah produk hortikultura dikirim, importir masih harus bersabar. Pasalnya, kontainer yang masuk ke Terminal Petikemas Surabaya (TPS) bakal menumpuk karena kapasitas pelabuhan terbatas. Kondisi serupa terjadi di luar pelabuhan. Akibatnya, impor produk hortikultura yang ditujukan ke TPS itu dikembalikan lagi ke kapal atau Shipping Return on Board (ROB). Bahkan akibat kejadian tersebut, TPS mengeluarkan surat edaran yang isinya meminta agar pengelola kapal yang masuk pelabuhan menyediakan fasilitas colokan listrik sendiri.

Wakil Ketua Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia, Bob B Budiman, mengemukakan hal senada, bahwa  muatan di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya melebihi kapasitas. "Padahal 70% produk hortikultura yang masuk ke Tanjung Perak bertujuan ke Jawa Barat dan Jabodetabek," kata dia.

Bob menambahkan, jumlah colokan listrik di Tanjung Perak hanya 400 unit. Alhasil, banyak pengapalan produk hortikultura kembali transit ke Singapura.

Perusahaan importir juga harus mengeluarkan dana tambahan bila kapal yang mereka sewa melakukan pelayaran balik untuk transit ke Singapura atau Hong Kong. Biaya tambahan ini mencapai US$ 800 hingga US$ 1.000 per pengapalan. Catatan saja, biaya pengapalan dari China ke Indonesia dengan tujuan TPS adalah US$ 3.000 hingga US$ 3.500 per kontainer.

Namun, Bachrul Chairi, Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan berdalih, persoalannya di para importir, yaitu kelengkapan dokumen importasi. "Importir belum melengkapi ketentuan. Kami akan segera selesaikan," ujarnya.

Tren impor produk hortikultura memang terus meningkat. Kemdag mencatat, nilai impor produk hortikultura tahun 2007 mencapai US$ 797,68 juta, kemudian di 2011 melonjak menjadi US$ 1,66 miliar dan di Januari-Juli 2012 mencapai US$ 1,01 miliar. Produk buah menjadi penyumbang terbesar; selama Januari-Juli 2012, nilai impornya US$ 596,25 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sandy Baskoro