Pengusaha keramik menolak usulan tarif pajak karbon



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengusulkan agar tarif pajak karbon berada di rentang Rp 5 hingga Rp 10 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

Angka tersebut, lebih rendah dari usulan pemerintah yang mematok tarif pajak karbon sebesar Rp 75 per kilogram CO2e. Dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU KUP dari Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI yang dihimpun Kontan.co.id, usulan tarif Rp 5 per kilogram CO2e dan Rp 10 kilogram per CO2e itu datang dari Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, dan Fraksi Partai Demokrat.

Ketiga Fraksi tersebut juga meminta agar implementasi pajak karbon setelah 5 tahun saat RUU KUP diundangkan. Hanya saja, usulan tersebut tetap ditolak oleh pengusaha.


Baca Juga: DPR minta tartif pajak karbon menjadi Rp 5 per kilogram CO2e

Ketua Umum Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan pihaknya tetap menolak pengenaan pajak karbon, meski tarifnya kelak lebih rendah dari usulan pemerintah. Asaki menolak karena instrumen fiskal tersebut akan langsung berdampak pada penurunan daya saing industri apalagi di tengah kondisi sulit krisis perekonomian akibat Pandemi Covid19.

“Asaki menghadapi gempuran import yg meningkat terus dimana Januari-Juli ini bertumbuh 60%. Asaki tidak bisa membayangkan manakala tax carbon diterapkan akan membuat produk impor semakin menguasai pasar domestik,” kata Edy kepada Kontan.co.id, Minggu (19/9).

Edy membandingkan negara-negara penghasil emisi karbon yang lebih banyak dari Indonesia memilik tidak mengenakan pajak karbon. Misalnya, China, India, dan Amerika Serikat (AS). Alhasil, pajak karbon justru akan memberikan multiplier effect negatif pagi perekonomian. Misalnya terhadap lonjakan impor dan investasi yang bakal tersendat.

Selanjutnya: Rencana pajak karbon, IERS: Ekonomi baru mau pulih, lalu dihajar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .